Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan Ajukan Uji Materiil Undang-Undang Kesehatan

Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) mengajukan Uji Materiil terhadap Pasal 308 ayat 1 Undang-Undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (22/10/2024).
Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) mengajukan Uji Materiil terhadap Pasal 308 ayat 1 Undang-Undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (22/10/2024).

Beritakota.id, Jakarta – Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) mengajukan Uji Materiil terhadap Pasal 308 ayat 1 Undang-Undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (22/10/2024).

PKHMK menilai frasa “terlebih dahulu harus dimintakan Rekomendasi dari Majelis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304” tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1 dan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945.

Menurut Ketua Umum PKHMK, Dr. Dra. Risma Situmorang, S.H., M.H., M.IP., AIIArb., Lembaga yang diketuainya memberikan kuasa kepada 22 (dua puluh dua) advokat dan tergabung dalam tim advokasi Konsultan Hukum dan Kesehatan Pengawas UU Kesehatan  untuk mengajukan uji materiil Pasal 308 ayat 1 UU Kesehatan, karena selain tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik kepentingan di kalangan tenaga medis (Dokter, Dokter Spesialis, Dkter Subspesialis, Dokter Gigi, Dokter Gigi Spesialis) itu sendiri.

Dijelaskannya, dalam Pasal 308 UU Kesehatan tertera kalimat, “ (1) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304. Dan di ayat (2) : Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai pertanggungiawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang merugikan pasien secara perdata, harus dimintakan Rekomendasi dari Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.”

Kalimat, ‘terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”, menurut Risma Situmorang menimbulkan kerancuan hukum, karena Majelis yang dimaksud dalam UU Kesehatan ini, adalah Majelis Disiplin Profesi (MDP), yang mempunyai tugas melaksanakan penegakan disiplin profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (TMTK).

Baca Juga: Soal RUU Perpajakan, Begini Usulan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

“Tugas, fungsi Dan kewenangan MDP itu hanya terkait dengan persoalan disiplin profesi, dan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai ada tidaknya pelanggaran hukum, baik secara pidana maupun perdata, sehingga sangat tidak tepat apabila Majelis Disiplin Profesi (MDP) serta merta diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan memeriksa terhadap perbuatan-perbuatan, yang melanggar ketentuan pidana ataupun perdata. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum, bagi para pencari keadilan yang akan melakukan upaya hukum secara litigasi melalui pengadilan, mengingat Perkara Pidana dan Perdata merupakan suatu Pelanggaran Hukum bukan pelanggaran disiplin,’’ tegas Risma.

Pasal 308 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Kesehatan, ujar Risma, sangat jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, karena telah membuat aturan yang berbenturan, dengan ketentuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.

“Dalam Perkara Pidana ataupun Perdata, memiliki aturan tersendiri apabila terdapat permasalahan hukum, baik secara pidana atau perdata, dapat diselesaikan langsung melalui instansi yang berwenang seperti Kepolisian dan pengadilan, untuk memeriksa dan menyelesaikan permasalahan hukum tersebut,” tukas Risma.

Terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (TMTK), seharusnya Majelis Disiplin Profesi (MDP) Yang saat ini tugas, fungsi dan kewenagnannya masih dilaksanakan oleh Majelis Kehormatan Disiplin dan Kedokteran Indonesia (MKDKI) berdasarkan Pasal 1167 PP No. 28 Tahun 2024 tidak perlu diberikan wewenang, untuk terlebih dahulu memeriksa dan memberikan rekomendasi.

Kalimat ”dimintakan Rekomendasi dari Majelis,” jelas merugikan dan melanggar Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia, karena berbenturan dan menimbulkan konflik kepentingan, mengingat Majelis yang notabene seorang Dokter atau Tenaga Medis, kecenderungannya, akan saling melindungi rekan sejawat Tenaga Medis.

Selain itu, tidak memberikan perlindungan hukum bagi Pasien atau Keluarga Pasien para pencari keadilan, terutama korban malapraktik dari Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (TMTK),” tukas Risma.

Kalimat ‘Rekomendasi dari Majelis’, juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena, bagaimana mungkin seorang Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (TMTK) Yang digugat secara Perdata di Pengadilan Negeri, mau mengajukan Rekomendasi ke Majelis Disiplin Profesi (MDP) atas perbuatan Perdata yang dilakukannya sendiri??

Sedangkan menurut Ketua Tim Advokasi Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan Pengawas UU Kesehatan, Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., CLA., Pasal 308 Ayat (1) UU Kesehatan, juga bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.

“Dimana seharusnya semua Warga Negara sama kedudukannya di depan hukum , tetapi kalau melihat Pasal 308, ada pembeda di depan hukum bagi Tenaga Medis, karena harus ada rekomendasi dari Majelis,” ujar Petrus.

Seperti diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 “Semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum (equality before the Law) dan Pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum dalam pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dan Pasal 28 Ayat (1), berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,’’ tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *