Beritakota.id, Jakarta – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Jaringan kejahatan ini bekerja secara terorganisir dan menyasar kelompok-kelompok rentan, termasuk generasi muda dengan tingkat literasi rendah. Modus kejahatan TPPO pun semakin beragam, mulai dari penipuan daring (online scam), penjualan bayi, hingga penjualan organ tubuh manusia.
Urgensi persoalan ini menjadi pokok pembahasan dalam diskusi panel bertema “Disrupting Criminal Networks, Protecting Victims” yang digelar belum lama ini di Ngawi, Jawa Timur. Dalam diskusi tersebut, Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG), Nukila Evanty, menekankan pentingnya perspektif feminisme dan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu kunci dalam memberantas TPPO.
“Feminisme adalah tentang semua gender memiliki hak dan kesempatan yang sama. Ini tentang menghormati pengalaman, identitas, pengetahuan, dan kekuatan perempuan yang beragam. Kita harus memberdayakan semua perempuan untuk mewujudkan hak-haknya sepenuhnya,” ujar Nukila di hadapan para peserta diskusi.
Sebagai aktivis dan advokat yang telah lama mendampingi perempuan korban kekerasan, Nukila menegaskan bahwa perempuan dengan tingkat pendidikan rendah sangat rentan menjadi korban perdagangan orang. Mereka mudah terperdaya oleh janji-janji pekerjaan dan gaji besar yang berujung pada penyiksaan fisik hingga eksploitasi seksual.
“Mereka dijanjikan pekerjaan, tapi justru disekap, disiksa, bahkan mengalami kekerasan seksual. Parahnya lagi, sindikat ini bekerja sangat rapi dan terorganisir, bahkan diduga ada oknum aparat yang membekingi,” ungkap Nukila.
Baca juga : Film tentang perdagangan orang dibintangi oleh Jason Stathan
Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional, Bareskrim Polri, sebanyak 427 orang menjadi korban TPPO sepanjang Januari hingga Juli 2025. Setiap bulannya, rata-rata 50 orang menjadi korban. Polda Jawa Timur mencatat jumlah korban terbanyak yaitu 54 orang, diikuti Jawa Barat dengan 48 korban, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 28 korban.
Lebih dari 74 persen korban merupakan perempuan. “Dalam riset yang saya lakukan, sebagian besar perempuan korban perdagangan orang adalah korban kekerasan dalam rumah tangga, serta perempuan miskin yang sangat tergantung secara ekonomi pada suami,” tambah Nukila.
Melihat kompleksitas permasalahan ini, Nukila menyampaikan 6 (enam) rekomendasi penting untuk mengatasi TPPO. Penguatan kapasitas untuk menghadirkan migrasi aman (safe migration) guna melindungi hak-hak pekerja migran. Kedua, Pendekatan non-hukum, yakni melalui advokasi dan pendampingan berkelanjutan, khususnya di wilayah kantong TPPO. Ketiga, Penyediaan pekerjaan layak dan jaminan perlindungan sosial universal bagi semua warga negara. Keempat, Pengalokasian anggaran pemerintah secara konsisten untuk mendukung program migrasi aman. Kelima, Pengurangan kesenjangan upah berbasis gender melalui advokasi sistem upah yang adil dan berbasis kompetensi. Keenam, Reformasi kebijakan dan hukum dengan perspektif perempuan, mengingat mayoritas korban TPPO adalah perempuan.
Mengakhiri pemaparannya, Nukila mengajak semua pegiat perempuan untuk saling mendukung dan memberdayakan satu sama lain.
“Perempuan yang kuat akan memengaruhi perempuan lainnya. Mari kita berdayakan perempuan, karena ini akan mengubah wajah dunia. Women support women,” pungkasnya. (Herman Effendi / Lukman Hqeem)