Beritakota.id, Jakarta – Ketika The Toxic Avenger muncul kembali di tahun 2024 dalam versi reboot garapan Macon Blair, banyak yang mengira film ini hanya akan menjadi nostalgia berdarah dari era kultus 1980-an. Tapi yang dihadirkan Blair bersama Legendary Pictures ternyata lebih dari sekadar pesta gore dan komedi absurd. Ia menghadirkan kisah yang menohok—tentang kesakitan manusia modern, sistem yang menelan orang kecil, dan harga mahal yang harus dibayar untuk sekadar bertahan hidup. Dalam tubuh makhluk beracun bernama Winston Gooze, tersimpan potret masyarakat yang sakit oleh kapitalisme.
Winston Gooze (diperankan dengan empati luar biasa oleh Peter Dinklage) adalah pekerja kebersihan di perusahaan kimia bernama Garb-X. Ia hidup sederhana bersama anaknya, Wade, sambil berjuang melawan penyakit serius yang membutuhkan biaya medis tak terjangkau. Dalam keputusasaan, Winston mencoba mencuri dari perusahaan tempatnya bekerja—sebuah keputusan fatal yang menjerumuskannya ke dalam limbah beracun. Namun alih-alih mati, tubuhnya bermutasi menjadi makhluk mengerikan dengan kekuatan luar biasa: The Toxic Avenger.
Kisah ini, dalam tangan Blair, bukan sekadar parodi superhero seperti versi orisinalnya. Ia menjadikannya tragedi manusia modern—tentang seseorang yang dikorbankan oleh sistem yang memuja profit dan menyingkirkan kemanusiaan. Winston tidak pernah bermimpi menjadi pahlawan; ia hanya ingin hidup, tapi dunia menolak memberinya kesempatan.
Satir Kapitalisme yang Lebih Gelap dan Emosional
Jika The Toxic Avenger (1984) karya Lloyd Kaufman merupakan produk kebebasan punk yang kotor dan penuh humor slapstick, maka versi 2024 adalah reinterpretasi yang lebih melankolis dan relevan. Blair memperbarui kritik sosialnya: bukan lagi sekadar soal pencemaran limbah atau kebrutalan korporasi, melainkan biaya kesehatan, ketimpangan ekonomi, dan dehumanisasi tenaga kerja di era neoliberal.
Sosok Winston mencerminkan realitas banyak pekerja masa kini: orang-orang yang hanya beberapa langkah dari kehancuran finansial bila jatuh sakit. Dengan tubuh yang rusak dan wajah yang berubah, ia menjadi simbol literal dari “produk” sistem yang beracun. Dalam konteks ini, The Toxic Avenger adalah alegori yang tajam—bahwa dalam masyarakat yang membusuk, monster sejati bukanlah yang terpapar racun, tapi yang menyalurkannya dari balik meja korporasi.
Sinematografi karya Dana Gonzales mengubah wajah Troma yang dulu murahan menjadi sesuatu yang lebih indah tanpa menghilangkan kebrutalan khasnya. Kamera menyorot tubuh Toxie bukan sebagai lelucon, tetapi sebagai penderitaan—kulit yang meleleh menjadi simbol identitas yang terkelupas. Warna-warna neon dan kontras tajam memberi kesan retro-modern, sementara efek prostetik praktikal tetap menjadi penghormatan terhadap tradisi Troma yang “tangan dingin”.
Yang paling menarik adalah bagaimana Blair menahan diri dari euforia digital. Efek CGI digunakan secukupnya untuk menegaskan dunia yang absurd, namun tetap memberi ruang bagi ekspresi manusia dalam kostum monster. Peter Dinklage membawa kedalaman yang tak pernah ada di versi 1984—ia membuat kita percaya bahwa di balik wajah yang terbakar dan daging yang menggumpal, masih ada jiwa yang ingin dicintai.
Dari Parodi ke Tragedi
Versi klasik tahun 1984 dikenal karena kekonyolannya. Film itu nyaris seperti kartun hidup, penuh darah dan lelucon seksis yang disengaja untuk memancing tawa dan jijik sekaligus. Ia lahir dari semangat trash cinema—memberontak terhadap standar Hollywood dengan cara menjadi kebalikan dari segala hal yang “layak tonton”.
Reboot 2024 tidak meninggalkan semangat itu, tetapi mengalihkannya menjadi satire yang lebih cerdas dan emosional. Winston kini bukan sekadar badut berdarah, tapi figur duka. Humor hitam tetap hadir, namun selalu berdampingan dengan rasa getir. Saat Toxie membantai para penjahat korporat, kita tidak hanya tertawa karena efek gore-nya yang berlebihan, tetapi juga merasa bahwa kekerasan itu lahir dari penderitaan yang nyata.
Toksisitas yang Lebih Dekat dengan Dunia Nyata
Dalam dunia The Toxic Avenger, toksisitas bukan lagi cairan hijau yang mematikan—melainkan racun sosial: sistem yang memperbudak, media yang memoles kejahatan korporasi, dan publik yang mudah lupa. Tokoh antagonis, Bob Garbinger (Kevin Bacon), adalah karikatur CEO era modern: karismatik, lucu, tetapi kejam dalam keputusan. Ia mencerminkan wajah baru kapitalisme—bukan lagi monster bertanduk, melainkan pria berpakaian rapi yang tersenyum saat menandatangani kontrak pemusnahan manusia.
Macon Blair menyalurkan sindiran sosial ini tanpa berkhotbah. Ia tahu bahwa film horor dan komedi adalah medium paling jujur untuk menyampaikan kritik. Seperti Joker (2019) yang membungkus alienasi sosial dalam film komik, The Toxic Avenger (2024) menggunakan gore dan tawa untuk menyoroti absurditas sistem yang memaksa manusia bertarung demi hak hidupnya.
Membandingkan Dua Zaman: 1984 vs 2024
Perbedaan paling mencolok antara dua versi ini adalah cara mereka melihat “sampah masyarakat.”
Versi 1984 menertawakan sampah itu—baik secara literal maupun simbolik. Filmnya adalah perlawanan bawah tanah terhadap moralitas konservatif Reagan era. Di sisi lain, versi 2024 mengasihani sampah itu. Blair melihatnya sebagai korban sistem, bukan bahan lelucon. Ia tidak menertawakan “orang jelek”, melainkan menelanjangi dunia yang memperlakukan mereka sebagai tidak layak.
Secara estetika, versi lama adalah dokumentasi energi liar: kamera goyang, efek darah yang kental seperti sirup, dan tawa yang tak kenal malu. Versi baru tampil lebih rapi, tapi tetap mempertahankan kekacauan di dalam kontrol artistik. Perbandingan ini ibarat menonton dua zaman yang berbeda bicara hal sama dengan bahasa masing-masing: keduanya mengutuk dunia yang membuang manusia seperti limbah.
Antara Kultus dan Kebingungan
Ketika film ini tayang di festival seperti Fantastic Fest dan Sitges, responnya terbelah tapi kuat. Sebagian kritikus menyebutnya “reboot terbaik yang tidak pernah kita minta”, memuji keberanian Blair mengubah materi kultus menjadi tragedi yang berlapis. Peter Dinklage disebut sebagai “jantung moral di tengah kekacauan gore.”
Namun sebagian penonton arus utama merasa film ini terlalu nihilistik dan sulit dinikmati. Campuran antara humor gelap, kekerasan ekstrem, dan pesan politik yang berat membuatnya tidak mudah diklasifikasikan.
Tetapi justru di situlah letak kekuatannya. The Toxic Avenger versi 2024 bukan untuk semua orang—ia adalah film yang menolak kompromi. Seperti tubuh Toxie yang cacat namun kuat, film ini tidak berusaha cantik. Ia ingin kotor, agar kita melihat bahwa dunia yang kita tinggali memang sudah beracun.
Monstrositas Sebagai Bentuk Keadilan
Di tengah lautan film superhero yang semakin homogen dan steril, The Toxic Avenger datang sebagai teguran keras. Ia bukan tentang menyelamatkan dunia, tetapi tentang menuntut hak untuk hidup di dunia yang tidak adil. Winston Gooze bukanlah pahlawan dengan kostum mengilap; ia adalah cerminan orang-orang yang terpinggirkan oleh sistem—yang hanya bisa menjadi “monster” untuk bisa didengar.
Dengan kombinasi satir sosial, efek praktikal yang menakjubkan, dan penampilan kuat Peter Dinklage, film ini layak disebut sebagai reboot yang tidak hanya menghormati warisan Troma, tapi juga memperluasnya menjadi refleksi zaman. The Toxic Avenger adalah bukti bahwa bahkan dari lumpur limbah, bisa lahir karya yang memantulkan wajah paling jujur dari kemanusiaan: rapuh, marah, dan beracun, tapi tetap ingin dicintai.
🎬 Rating Akhir: ★★★★☆ (7.5/10)
Genre: Satire, Horror, Dark Comedy, Superhero Parody
Sutradara: Macon Blair
Studio: Legendary Pictures / Troma Entertainment
Pemeran utama: Peter Dinklage, Kevin Bacon, Elijah Wood, Jacob Tremblay
- antihero
- body horror
- dark comedy
- Fantastic Fest
- film cult
- film politik
- film superhero gelap
- film tentang ketimpangan sosial
- gore movie
- kritik sosial
- Legendary Pictures
- Macon Blair
- Peter Dinklage
- reboot The Toxic Avenger
- Review Film
- review film 2025
- satire kapitalisme
- The Toxic Avenger 2024
- Troma Entertainment
- ulasan film