Beritakota.id, Kampar — Ketegangan agraria kembali mencuat di Desa Sinama Nenek, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau. Warga mendesak pemerintah, terutama Presiden Prabowo Subianto, untuk menuntaskan dugaan praktik mafia tanah yang disebut telah menguasai lahan masyarakat selama bertahun-tahun. Sementara itu, aparat dan pemerintah daerah meminta semua pihak menahan diri sembari menunggu proses mediasi dan verifikasi hukum yang masih berjalan.
Konflik yang telah berlangsung lebih dari enam tahun ini berpusat pada lahan seluas sekitar 2.800 hektare, yang kini menjadi sengketa antara dua koperasi: Koperasi Nenek Eno Sinama Nenek (KNES) dan Koperasi Pusako Sinama Nenek (Koposan). Kedua pihak sama-sama mengklaim sebagai pengelola sah lahan yang sebagian besar merupakan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Warga: Kami Hanya Ingin Mengelola Lahan Sendiri
Tokoh adat Datuk Hermanto menegaskan bahwa masyarakat Sinama Nenek adalah korban dari praktik penguasaan lahan oleh pihak yang disebut “mafia tanah” berkedok koperasi. Menurutnya, warga memiliki dokumen sertifikat hasil program TORA yang sah, namun sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi dapat mengakses maupun memanen lahan mereka sendiri.
“Kami hanya ingin memanen sawit di lahan kami sendiri—lahan yang sah secara hukum. Kalau ada pihak yang menghalangi, berarti mereka yang justru merampas hak kami,” ujar Hermanto, Senin (3/11/2025).
Ia juga menilai beberapa pemberitaan yang menggiring opini negatif terhadap masyarakat sebagai “pelaku” konflik justru mengaburkan substansi persoalan.
“Yang terjadi sebenarnya adalah masyarakat menjadi korban, bukan penyebab konflik,” tegasnya.
Alih-alih menyalahkan aparat, tokoh adat Desa Sinama Nenek justru menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada pihak manapun, termasuk aparat keamanan, yang bersedia turun tangan membela hak rakyat kecil di lapangan.
“Kami sangat berterima kasih kepada siapa pun, termasuk Kopassus, jika memang hadir untuk menegakkan keadilan bagi rakyat. Silakan aparat datang dan lihat langsung fakta di lapangan siapa sebenarnya yang dizalimi,” tutur Datuk Hemanto.
Datuk Hermanto sendiri didampingi oleh Datuk Yarmed, yang juga merupakan salah satu penerima sertifikat tanah dari program reforma agraria pemerintah.
Dua Koperasi, Satu Klaim Kepemilikan
Sumber dari Pemerintah Kabupaten Kampar menyebutkan bahwa lahan tersebut memang tumpang tindih klaim antara KNES dan Koposan. KNES mengklaim telah mengelola lahan itu lebih dulu berdasarkan izin kerja sama lama, sementara Koposan menyatakan memiliki dasar hukum lebih kuat karena mengantongi sertifikat TORA atas nama masyarakat Sinama Nenek.
Mediasi telah beberapa kali difasilitasi oleh DPRD Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Kampar, termasuk pertemuan terakhir pada Oktober 2025, namun belum menghasilkan kesepakatan final. Salah satu tantangan utama adalah menentukan dasar hukum kepemilikan lahan dan keabsahan sertifikat di tengah tumpang tindih dokumen administratif.
Aparat dan Pemerintah Minta Semua Pihak Tenang
Pihak kepolisian daerah memastikan bahwa aparat tidak berpihak dan berkomitmen menjaga situasi tetap kondusif. Sejumlah sumber di lapangan menyebut, aparat justru tengah berupaya mencegah potensi bentrokan antarkelompok yang sama-sama mengklaim lahan tersebut.
“Polisi hanya memastikan keamanan dan mencegah gesekan horizontal,” kata salah satu pejabat di Polres Kampar yang enggan disebut namanya.
Pemerintah Kabupaten Kampar melalui Dinas Pertanahan dan Tata Ruang juga menegaskan bahwa penyelesaian konflik ini sedang dikaji bersama Kementerian ATR/BPN. Pemerintah berencana mengklarifikasi status lahan, dokumen sertifikat, dan struktur pengelolaan koperasi untuk mencari solusi yang berkeadilan.
Seruan ke Presiden: Reforma Agraria Harus Tegas dan Adil
Meski begitu, masyarakat tetap berharap perhatian langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Mereka menilai, konflik berkepanjangan di Sinama Nenek menjadi ujian awal bagi komitmen pemerintahan baru terhadap reforma agraria.
“Kami mohon Presiden mendengar langsung penderitaan kami. Kami terbuka untuk mediasi, tapi keadilan harus nyata,” ujar Alfajri, perwakilan Koperasi Pusako Sinama Nenek (Koposan).
Harapan Akan Akhir yang Adil
Di tengah ketegangan yang belum reda, masyarakat berharap pemerintah segera menegaskan status kepemilikan lahan dan mengakhiri ketidakpastian hukum.
Mereka juga menyerukan agar aparat keamanan bertindak proporsional dan tidak melakukan kriminalisasi terhadap warga yang berupaya mempertahankan haknya.
“Kami tidak menolak hukum, kami hanya ingin keadilan ditegakkan,” tutup Datuk Hermanto dengan nada tenang. (Herman Effendi/Lukman Hqeem)


