Beritakota.id, Jakarta – Meningkatnya kasus kekerasan di lingkungan sekolah, termasuk insiden ledakan dan tindak kriminal yang baru-baru ini terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta, menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan Indonesia. Fenomena ini, menurut Peneliti Health Collaborative Center (HCC) sekaligus Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa (Kaukus Keswa), Dr. Ray Wagiu Basrowi, tidak sekadar soal kedisiplinan siswa atau kriminalitas remaja, tetapi menandai keretakan ekosistem sosial di sekolah.
“Dalam disiplin kesehatan komunitas, ada teori Sistem Ekologi yang menjelaskan bahwa sekolah merupakan bagian penting dari sistem sosial yang menjaga stabilitas masyarakat,” ujar Dr. Ray saat ditemui usai Diskusi Publik Kaukus Kesehatan Jiwa di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (7/11).
Menurutnya, fungsi sekolah sebagai “filter sosial” kini mulai melemah. Dulu, sekolah mampu mendeteksi perilaku menyimpang sebelum menyebar ke masyarakat. Namun kini, tekanan publik yang menuntut keterbukaan justru sering disalahartikan sehingga banyak pihak luar dapat menembus batas sosial sekolah tanpa memahami konteks pendidikan yang sesungguhnya.
“Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman dan terlindung dari pengaruh negatif, kini makin mudah ditembus oleh arus informasi destruktif dan intervensi eksternal,” jelas Dr. Ray, yang juga dikenal sebagai edukator kesehatan jiwa di media sosial @ray.w.basrowi.
Dr. Ray mengungkapkan, hilangnya otoritas guru dalam pembinaan karakter siswa menjadi salah satu dampak nyata dari tekanan sosial yang berlebihan.
“Guru kini takut bersikap tegas karena tekanan publik yang menuntut semua hal harus transparan. Padahal, dalam proses pendidikan, ada hal-hal yang perlu ditangani dengan pendekatan profesional, bukan opini publik,” ujarnya.
Dalam perspektif Ecological Systems Theory dari Bronfenbrenner (1979), lanjut Dr. Ray, stabilitas masyarakat bergantung pada kekuatan setiap lapisan sistem, termasuk sekolah sebagai lokus utama pembentukan karakter dan pengendalian perilaku sosial.
“Ketika dinding ekosistem sekolah makin tipis, perilaku ekstrem dan kekerasan jadi lebih mudah muncul. Pengawasan sosial yang dulu ketat kini tergantikan oleh arus informasi yang tidak terkendali,” tegasnya.
Dr. Ray juga menilai meningkatnya kasus kekerasan di sekolah tidak lepas dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.
“Setiap peristiwa di sekolah kini diawasi, dikomentari, bahkan dihakimi secara publik tanpa pemahaman terhadap proses pendidikan itu sendiri,” ujarnya.
Ia menegaskan, penting bagi seluruh pihak untuk tidak menjadikan sekolah sebagai panggung publik.
“Transparansi itu penting, tetapi kalau berlebihan justru membuat sekolah kehilangan wibawa dan kepercayaan diri dalam membina anak-anak,” tegas Dr. Ray.
“Sekolah harus kembali menjadi ruang yang terlindungi. Jangan semua pihak berlomba-lomba masuk dan mengintervensi dari luar.”
Sebagai solusi, Dr. Ray menyerukan penguatan kapasitas guru dan sistem perlindungan jiwa anak di sekolah.
Ia mendorong pembentukan Zona Mendengar Jiwa serta pelatihan deteksi dini perilaku berisiko sebagai bagian dari program Kaukus Keswa dan HCC.
“Kalau kita ingin mencegah kekerasan di masa depan, kita harus memperkuat ekosistem sekolah hari ini,” pungkasnya.
“Sekolah bukan tempat sembarangan, itu ruang pembentukan karakter dan peradaban bangsa,” tutupnya.


