Beritakota.id, Jakarta – Krisis iklim dirasakan semakin menghebat, cuaca semakin ekstrim dan bencana hidrometeorology seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, abrasi air laut semakin intens. Muara Gembong di Bekasi yang dulunya wilayah subur makmur, kini tergerus abrasi, bahkan beberapa desa terancam tenggelam.
Di Semarang – Jawa Tengah banjir rob akibat air laut pasang semakin sering terjadi mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan karena datang terus menerus. Gelombang panas (Heat Wave) melanda Asia, Eropa, dan Amerika dengan jumlah korban jiwa meningkat setiap tahunnya. Di Italy, sekitar 19 ribu orang meninggal akibat panas ektrim pada pertengahan musim panas 2024.
Secara global, tercatat sudah 500 ribu orang lebih yang meninggal akibat gelombang panas ini setiap tahunnya. Karena itu, sekjen PBB Antonio Guterres menyebut bahwa era ’global warning’ sudah berakhir, dan sekarang kita memasuki era ‘global boiling’ (pendidihan global).
Itulah sebabnya upaya menjaga agar kenaikan suhu di bawah 2 derajat celcius bahkan idealnya di bawah 1,5 derajat celcius disepakati oleh para pemimpin negara di dunia. Untuk itu, upaya menjaga kenaikan suhu ini harus didukung oleh semua pihak sambil melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang sudah terjadi.
Demikian dipaparkan oleh Nanang Subana Dirja selaku CEO Islamic Relief Indonesia yang menjadi pengundang dalam kegiatan Talanoa Dialogue, yang dilaksanakan pada hari Jum’at 7 November 2025 atas kerjasama Islamic Relief dengan UNOCHA – Lembaga PBB yang mengkoordinasikan bantuan-bantuan kemanusiaan di dunia.
Talanoa Dialogue adalah sebuah proses dialog yang inklusif, partisipatif, dan transparan yang berasal dari tradisi Fiji dan Pasifik, yang bertujuan untuk berbagi cerita, membangun empati, dan membuat keputusan yang bijaksana demi kebaikan bersama. Proses ini sering digunakan dalam konteks global, terutama dalam diskusi perubahan iklim, untuk mengumpulkan berbagai pandangan dan pengalaman dari berbagai pihak tanpa ekspektasi kesepakatan yang telah ditentukan.
Pada kesempatan pertama dihadirkan Usnawati, seorang pelaku UMKM yang menggeluti usaha jamur, tinggal di Lombok Barat-NTB. Beliau menyampaikan bahwa akhir-akhir ini usaha jamurnya mengalami kendala produksi karena bahan baku pembuatan jamur serbuk gergaji sulit didapat dan kalau tersedia harganya mahal. “Dulu serbuk gergaji terbuang, kita tidak pernah beli sehingga kita bisa mengembangkan usaha jamur sampai memiliki 12 rumah jamur.
Sekarang, kendalanya serbuk gergaji itu sulit didapat. Kalau pun ada kita mesti beli dengan harga yang mahal. Itu pun kita harus gantian untuk mendapatkannya. Akibatnya kita menurunkan produksi, yang tadinya bisa setiap sehari, sekarang hanya bisa produksi 1 kali dalam sebulan. Kata yang punya sawmill, serbuk gergaji telah dikontrak oleh PLN”.
Cerita Usnawati di dalam sesi pembuka Talanoa Dialogue ini.
Ternyata ibu Uus -nama panggilannya- bersama dengan ratusan petani jamur pernah mengadukan persoalan ini ke berbagai pihak. Namun jawaban yang diterimanya sangat mengecewakan. Salah satu pimpinan daerah yang ditemuinya justru memberikan jawaban yang menghancurkan hati mereka.
“Ibu pilih mana, apakah sebaiknya listriknya mati dan ibu terus berusaha jamur, atau Listrik hidup dan usaha ibu sedikit terganggu”, ujar pimpinan daerah tersebut yang ucapannya ditirukan oleh Uus.
Inilah dampak nyata dari transisi ke arah pembangunan hijau. PLN berupaya mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar ramah lingkungan agar emisi karbon dalam proses menghasilkan listrik ini dapat dikurangi. Namun demikian nampaknya PLN belum mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari transisi ini.
Menurut Dina Novita Sari dari ILO (International Labour Organization) yang menjadi pembicara keempat dalam dialogue Talanoa ini, proses transisi ke arah ekonomi hijau haruslah berkeadilan (Just Transition). Ada 8 ‘key policy area’ untuk transisi yang berkeadilan, salah satunya adalah kebijakan Proteksi Sosial. Intinya bila ada masyarakat yang terdampak dari sebuah proses transisi, maka masyarakat tersebut harus diberikan perlindungan social agar kehidupannya tidak terganggu.
Dalam catatan ILO, secara global ada sekitar 1,2 milyar pekerjaan dan penghidupan masyarakat yang berhubungan dengan pelayanan ecosystem dan di saat terjadi perubahan termasuk di dalam proses transisi hijau ini, maka para pelaku di dalam lingkup pekerjaan tersebut akan terdampak.
Namun di lain sisi, juga akan ada ‘ job opportunity’ baru yang timbul di saat proses transisi ini terjadi, yaitu pekerjaan-pekerjaan baru yang membutuhkan keahlian tertentu yang belum tentu dapat diisi oleh orang-orang yang terdampak tadi. Karenanya perlu ada proses upskilling (peningkatan keterampilan) dan reskilling (penyesuaian keterampilan) agar mereka yang terdampak tersebut dapat mengisi job opportunity tersebut. Dengan demikian, proses transisi hijau dapat lebih inklusif dan berkeadilan.
Hadir sebagai pembicara lain di dalam dialogue Talanoa ini, Anggi Pertiwi Putri, ST, MEnv dari Kementerian PPN/Bappenas yang memaparkan peta jalan Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim di Tingkat Nasional, Dr H Iswandi, MSI Kepala Bappeda NTB yang memaparkan kesiapaan provinsi NTB dalam melaksanakan Pembangunan Ekonomi Hijau melalui kebijakan Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2025-2045, Dr Hairil Anwar Akademisi dari Universitas Mataram yang memaparkan pendekatan system dynamic dalam memetakan skenario pencapaian net zero emission NTB lebih cepat 10 tahun dari tingkat nasional.
Pembicara lain Prof. Muhammad Said, Guru Besar ekonomi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dewan Pengawas Syariah Islamic Relief Indonesia memberikan pencerahan terkait dengan Integrasi Etika dan Keadilan ke dalam Transisi Ekonomi Hijau, termasuk di antaranya melalui penderkatan Hifz’al-Bi’ah (menjaga lingkungan) sebagai maqodid kontemporer, melalui 3 pendekatan. Yaitu, Tawazun (kseimbangan) antara ekonomi, social, dan ekologi; lalu Ta’awun (kolaborasi) lintas sektor untuk mewujudkan keadilan ekologis, dan Hisbah (Pemgawasan moral) untuk memastikan bisnis beretika.


