Beritakota.id, Jakarta – Setahun setelah dimulainya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, arah kebijakan energi nasional menunjukkan sejumlah capaian, namun juga dihadapkan pada berbagai tantangan struktural dan implementatif. Menyikapi hal ini, Energy Transition Policy Development Forum (ETP Forum) kembali menggelar media briefing tahunan untuk merefleksikan perkembangan kebijakan energi Indonesia sekaligus merumuskan rekomendasi kebijakan strategis menuju transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

ETP Forum merupakan kolaborasi lintas lembaga yang terdiri dari Climateworks Centre, Centre for Policy Development (CPD), Institute for Essential Services Reform (IESR), International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC). Forum ini menindaklanjuti sembilan rekomendasi utama yang disampaikan pada tahun lalu, dengan menambahkan refleksi capaian dan prioritas kebijakan baru untuk memperkuat arah transisi energi Indonesia.

Pada semester pertama 2025, bauran energi terbarukan Indonesia meningkat menjadi 16%, dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik energi bersih sebesar 876,5 MW, atau naik 15% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun menunjukkan kemajuan, capaian ini masih belum cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris dan mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad.

Baca juga : Bakti Sosial Pertamina Energy Terminal Untuk Masyarakat Pesisir

Pemerintah juga telah mengalokasikan Rp402,4 triliun dalam APBN 2026 untuk ketahanan energi, di mana sekitar Rp37,5 triliun ditujukan untuk pengembangan energi terbarukan. Namun demikian, kebijakan subsidi energi yang masih berorientasi pada komoditas, ketimpangan penerima manfaat, dan stagnasi investasi energi bersih menjadi isu mendesak yang perlu segera dibenahi.

Tantangan lain mencakup penurunan penjualan kendaraan listrik pasca penghapusan insentif, belum adanya peta jalan pensiun dini PLTU yang jelas, serta lemahnya koordinasi lintas kementerian setelah restrukturisasi kelembagaan di sektor energi.

“Komitmen ambisius yang telah disampaikan di berbagai forum internasional belum sepenuhnya tercermin dalam arah kebijakan nasional sepanjang tahun pertama pemerintahan saat ini,” ujar Kuki Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Senin (10/11).

Dalam forum tersebut, ETP Forum merinci sembilan rekomendasi yang dikelompokkan ke dalam empat klaster utama:

1. Reformasi Subsidi Energi dan Akses Energi di Daerah 3T

ETP Forum menekankan pentingnya percepatan pergeseran subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi langsung berbasis penerima manfaat melalui pemanfaatan Data Tunggal Subsidi Energi Nasional (DTSEN).
“Penghematan subsidi harus dialihkan untuk investasi energi bersih serta pengembangan jaringan listrik mikro dan off-grid di wilayah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T),” kata Ruddy Gobel, Senior Policy Advisor Centre for Policy Development (CPD).

2. Tata Kelola dan Regulasi untuk Transisi Energi

ETP Forum menilai perlu adanya reformasi kelembagaan untuk memastikan pemisahan tegas antara peran regulator dan operator bisnis energi guna meningkatkan transparansi dan kepercayaan investor.
Selain itu, pembentukan Satuan Tugas Transisi Energi di bawah Presiden dengan dasar hukum yang jelas dinilai krusial agar tidak terjadi fragmentasi kebijakan lintas sektor.
“Sinkronisasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dengan regulasi dekarbonisasi lain dan RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) perlu dipercepat untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha,” tambah Ruddy.

3. Komitmen Jangka Panjang dan Investasi Teknologi

Menurut Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia perlu memperbarui target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) agar sejalan dengan visi Presiden Prabowo menuju 100% energi terbarukan pada 2040 atau lebih cepat.
Fabby menekankan pentingnya investasi riset dan pengembangan teknologi bersih, seperti baterai untuk transportasi publik, hidrogen hijau, dan amonia, untuk mempercepat adopsi energi bersih dan mempertahankan daya saing industri nasional.

4. Standar Lingkungan dan Transisi yang Berkeadilan

“Transisi energi harus berlandaskan pada tata kelola lingkungan, sosial, dan pemerintahan (ESG) yang kuat, agar hilirisasi mineral kritis tidak merusak lingkungan dan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal,” ujar Zacky Ambadar, Lead Electric Mobility and Indonesia Energy International Institute for Sustainable Development (IISD).

Ia juga menekankan pentingnya mengintegrasikan prinsip Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) serta Just Transition Framework untuk memastikan perlindungan pekerja dan kelompok rentan dalam proses transisi energi nasional.

ETP Forum menilai bahwa tahun kedua pemerintahan Prabowo–Gibran akan menjadi titik kritis bagi keberlanjutan reformasi kebijakan energi nasional. Koordinasi lintas sektor, reformasi fiskal yang berkeadilan, dan konsistensi komitmen politik menjadi faktor kunci agar Indonesia tidak kehilangan momentum menuju ketahanan energi dan emisi nol bersih (net zero).

“Momentum tahun kedua ini penting untuk membuktikan bahwa komitmen dekarbonisasi bukan hanya retorika, tetapi sudah masuk ke level kebijakan dan implementasi nyata,” tutup Kuki Soejachmoen.