Beritakota.id, Kupang — Upaya membangun budaya membaca kembali mengemuka di Nusa Tenggara Timur (NTT) seiring meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan literasi masyarakat. Dalam acara sosialisasi Pembudayaan Kegemaran Membaca di Kupang, Kamis (20/11/2025), Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi NTT, Dollyres Chandra, menegaskan bahwa perpustakaan memegang peran fundamental sebagai jantung gerakan literasi di daerah.
Menurutnya, ketika perpustakaan mampu menyediakan ragam bahan bacaan berkualitas dan mudah diakses, maka akan berkembang ide-ide baru, kreativitas, serta kemampuan berpikir kritis. “Kebiasaan membaca harus dilatih sedini mungkin, sekalipun saat ini marak penggunaan digital,” ujarnya. Dalam pandangannya, kebiasaan membaca bukan sekadar aktivitas individual, melainkan fondasi peradaban dan kualitas sumber daya manusia.
Baca juga : Astra Pamerkan Keindahan Tenun NTT: Merajut Tradisi, Menenun Masa Depan Generasi Muda
Tantangan Literasi: Ketimpangan Akses dan Minimnya Kebiasaan Membaca
Meski demikian, tantangan di lapangan masih besar. Chandra menyebut bahwa masih ditemukan mahasiswa di perguruan tinggi yang belum memiliki kemampuan membaca yang memadai—sebuah ironi di era ketika informasi bisa diakses hanya dengan satu sentuhan layar. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah literasi bukan sekadar lemahnya fasilitas, melainkan belum tumbuhnya budaya membaca secara konsisten di tingkat keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kepala Bidang Layanan dan Pembinaan Perpustakaan, Chrismiljanto P. Rato Pira, menambahkan bahwa sejak 2020 pemerintah provinsi sebenarnya telah menyiapkan grand desain pembangunan literasi, namun pelaksanaannya tertunda akibat pandemi COVID-19. Kini, upaya tersebut kembali digerakkan dengan pendekatan baru: perpustakaan bukan hanya tempat buku disimpan, melainkan pusat layanan inklusif yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
“Layanan perpustakaan di NTT kini telah dilengkapi koleksi braille serta armada perpustakaan keliling yang masif,” jelas Rato Pira. Fasilitas tersebut dinilai mampu menjangkau kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas dan masyarakat yang berada jauh dari pusat kota.
Perpustakaan Sebagai Ruang Inklusif dan Benteng Melawan Informasi Palsu
Di sisi lain, akademisi Undana Kupang Fransiskus Bustuan menyoroti perubahan sikap masyarakat terhadap perpustakaan. Ia mengakui bahwa pada masa lalu, banyak orang “alergi” dengan perpustakaan karena dianggap kaku dan membosankan. Namun kini perpustakaan dituntut menjadi ruang yang hidup, ramah, dan mampu membangun kesadaran literasi secara lebih kreatif.
Perubahan tersebut juga penting untuk mengimbangi tren post-truth, sebuah era ketika informasi palsu, misinformasi, dan “kebenaran alternatif” mudah beredar dan diterima tanpa verifikasi. “Literasi adalah jajanan pengetahuan yang memberikan manusia kekuatan berpikir kritis,” kata Bustuan. Menurutnya, kemampuan memilah informasi hanya bisa tumbuh melalui kebiasaan membaca yang terlatih.
Pegiat literasi Robertus Fahik menambahkan bahwa literasi merupakan panggilan hati, bukan sekadar program seremonial. Ia menegaskan bahwa perkembangan literasi tidak dapat dipisahkan dari tiga pilar utama: keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Tanpa kolaborasi ekosistem tersebut, gerakan membaca hanya akan menjadi slogan tanpa dampak nyata.
Distribusi Buku Hingga Desa: Perpusnas Perkuat Gerakan Akar Rumput
Sebagai bagian dari penguatan literasi, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menyerahkan bantuan bahan bacaan berkualitas kepada 71 perpustakaan desa/kelurahan serta 293 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di seluruh NTT. Bantuan ini diharapkan mampu memperkuat ekosistem literasi di wilayah pedesaan yang selama ini menghadapi keterbatasan akses buku, fasilitas, dan sumber daya pengelola.
Bantuan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai penyedia bahan bacaan, tetapi juga menjadi dorongan moral bagi komunitas literasi lokal yang selama ini bergerak secara mandiri. Program ini mempertegas peran Perpusnas sebagai lembaga yang mendorong percepatan literasi nasional dari akar rumput, bukan hanya di kota-kota besar.
Membangun Budaya Membaca sebagai Gerakan Sosial
Gerakan literasi di NTT kini tidak lagi dipandang sebagai kampanye sesaat, tetapi sebagai gerakan sosial jangka panjang untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Pemerintah daerah, akademisi, pegiat literasi, dan komunitas membaca berupaya menghidupkan kembali perpustakaan sebagai ruang belajar, ruang diskusi, dan ruang pemberdayaan.
Dengan fasilitas yang semakin inklusif, distribusi bahan bacaan yang lebih merata, dan kesadaran baru mengenai bahaya misinformasi, NTT menempatkan literasi sebagai modal utama membangun masa depan generasi muda. Membaca tidak hanya menjadi kemampuan dasar, tetapi sebuah kebiasaan yang membentuk karakter, membuka wawasan, dan memperkuat daya saing daerah. (Ahmad Fadli / Lukman Hqeem)


