Beritakota.id, Jakarta – Pemerintah Indonesia terus memperkuat komitmennya dalam mendorong ekosistem ketenagalistrikan berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebagai bagian dari peta jalan menuju net zero emission tahun 2060 atau lebih cepat. Komitmen tersebut kembali ditegaskan dalam perhelatan Electricity Connect 2025 yang digelar di Jakarta International Convention Center (JICC), Kamis (20/11).
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Dadan Kusdiana, menyampaikan bahwa arah kebijakan transisi energi telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Baca juga :Akselerasi Transisi Energi Hijau Lewat Electricity Connect
“Kebijakan strategis yang paling utama adalah memaksimalkan potensi EBT di negara ini. Pemerintah menargetkan 19–23% bauran energi nasional pada tahun 2030 berasal dari EBT,” ujar Dadan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pemerintah juga telah merampungkan Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) yang akan dibahas pada Konferensi Perubahan Iklim Dunia COP30 di Brasil. Dalam dokumen tersebut, pemerintah mencatat penurunan penggunaan bahan bakar fosil di sektor energi dari 34% pada 2019 menjadi 29% pada 2024.
“Angka ini menunjukkan bahwa transisi energi bersih Indonesia berjalan sesuai arah dan membuahkan hasil yang baik,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, menegaskan bahwa arah transisi energi telah diterjemahkan dalam dua dokumen kunci sektor ketenagalistrikan, yaitu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034.
“Pembangunan pembangkit hingga 2034 ditetapkan mencapai 120 gigawatt (GW), dan **79% di antaranya berasal dari pembangkit EBT,” jelas Wanhar.
Ia juga menegaskan bahwa percepatan pembangunan Super Grid nasional dan sistem penyimpanan energi menjadi pilar utama dalam menjamin fleksibilitas dan keandalan sistem listrik ke depan.
“Super Grid akan menghubungkan jaringan tenaga listrik dalam satu pulau serta antarpulau besar. Dengan demikian, mismatch antara lokasi sumber EBT dan pusat permintaan listrik dapat teratasi,” ungkapnya.
Pemerintah telah menetapkan target interkoneksi antarwilayah sebagai berikut:
Sumatra–Jawa: 2029
Sumatra–Bintan–Batam: 2031
Bali–Lombok–Sumbawa: 2035
Kalimantan–Jawa: 2040
Sumbawa–Flores dan Kalimantan–Sulawesi: 2041
Sumbawa–Sulawesi: 2045
“Super Grid menjadi kunci penting dalam mencapai target net zero emission 2060 dan membuka peluang pertukaran energi antarwilayah,” tegas Wanhar.
Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Suroso Isnandar, memaparkan rencana besar pembangunan infrastruktur jaringan listrik hijau untuk mengintegrasikan pasokan dari pembangkit EBT.
PLN menargetkan pembangunan:
48.000 kilometer sirkuit (kms) jaringan transmisi hijau
200.000 kms jaringan distribusi
“Ini diperlukan untuk memastikan listrik dari pembangkit EBT dapat terserap optimal ke dalam sistem ketenagalistrikan nasional,” jelas Suroso.
Tantangan Besar: Smart Grid, Baterai, dan Investasi
Meski memiliki peta jalan yang kuat, Suroso menegaskan bahwa tantangan dalam transisi energi tidak ringan. Mulai dari kesiapan teknologi Smart Grid, ketersediaan baterai berkapasitas besar untuk menyimpan energi intermiten, hingga kebutuhan investasi jumbo untuk membangun seluruh infrastruktur pendukung.
“Kita menjalankan separuh saja dari rencana ini pun sudah sangat masif. PLN tidak akan bisa sendiri dalam investasi sebesar itu. Karena itu, kami mengajak sektor swasta untuk turut terlibat,” ujarnya. (Hermen Effendi / Lukman Hqeem)


