Beritakota.id, Jakarta – Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) bersama Universitas Indonesia (UI) melalui Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan (SPPB) menggelar Seminar Nasional bertema “Ketahanan Pangan sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal”. Acara ini berlangsung di Auditorium Kampus UI Salemba, Jakarta, Jumat (21/11) dan menjadi bagian dari rangkaian Dies Natalis Program Studi Ketahanan Nasional.
Seminar ini bukan sekadar forum akademik, tetapi wadah strategis yang mempertemukan gagasan, pengalaman, dan praktik terbaik lintas daerah dan lintas disiplin. Tema yang diangkat menegaskan bahwa ketahanan pangan yang selama ini sering dipandang sebagai isu teknis sesungguhnya merupakan fondasi kesejahteraan sekaligus pondasi ketahanan nasional.
Data terbaru menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2025 berada di angka 8,47% atau setara dengan 23,85 juta penduduk. Meskipun menjadi capaian terbaik sejak krisis 1998, pemerintah menyoroti laju penurunan kemiskinan yang mulai melambat.
Presiden Prabowo Subianto menargetkan kemiskinan ekstrem 0% pada 2026—sebuah target ambisius yang menuntut terobosan kebijakan serta kolaborasi lintas sektor.
Wakil Kepala BP Taskin, Iwan Sumule, menegaskan bahwa strategi pengentasan kemiskinan tidak boleh hanya bertumpu pada bantuan sosial.
“Kami mengusung pendekatan graduasi kemiskinan, yang tidak hanya memberi bantuan, tetapi membekali masyarakat agar mandiri,” ujarnya.
Pendekatan tersebut dibangun di atas empat pilar utama:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar
2. Penciptaan pendapatan
3. Pemberdayaan
4. Peningkatan tabungan dan investasi
Salah satu sorotan utama seminar adalah bagaimana kearifan lokal terbukti menjadi penopang ketahanan pangan yang tangguh dan berkelanjutan.
Bupati Tabanan, I Komang Gede Sanjaya, mencontohkan sistem Subak di Bali sebagai salah satu model terbaik.
“Kearifan lokal sejak adi luhung zaman dahulu sangat menopang ketahanan pangan. Subak adalah warisan nenek moyang sejak abad ke-11, dan hingga kini tetap menjadi sistem yang adil, gotong royong, serta menjaga keseimbangan alam,” ujarnya.
Ia berharap praktik baik Subak dapat menginspirasi daerah lain dalam mendukung visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Dari Solok, Sumatera Barat, praktik persawahan tradisional, metode penyimpanan pangan, hingga produk fermentasi seperti dadiah turut diapresiasi sebagai wujud ketahanan pangan berbasis budaya.
Bupati Solok, Jon Firman Pandu, menyambut baik terselenggaranya seminar ini dan menilai forum ini penting dalam mendukung langkah menuju nol kemiskinan ekstrem pada 2026.
“Kearifan lokal bukan hanya tradisi, tetapi modal sosial dan ekologis yang tahan krisis,” tegasnya.
Direktur SPPB UI, Prof. Dr. Supriatna, M.T., menegaskan bahwa universitas memiliki peran strategis dalam memperkuat fondasi ilmiah bagi kebijakan pemerintah.
“Universitas menyediakan basis pengetahuan dan penelitian untuk kebijakan yang berkelanjutan. Kolaborasi pemerintah dan akademisi adalah kunci,” ujarnya.
Seminar ini menghadirkan para pakar dan pimpinan daerah seperti Bupati Solok, Bupati Tabanan, serta akademisi UI yang membahas tantangan pertanian modern, strategi pangan berbasis kearifan lokal, hingga perspektif ekonomi Pancasila dalam membangun sistem pangan nasional.
Melalui diskusi interaktif, forum ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret serta memperkuat jejaring kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan masyarakat.
“Kami ingin hasil seminar ini menjadi referensi nyata bagi pemerintah dan masyarakat,” tutup Iwan Sumule.


