Berita Kota, Jakarta – Banjir bandang yang melanda bagian wilayah Utara dan Barat Sumatera kembali menegaskan perlunya perbaikan tata kelola lingkungan dan kesiapsiagaan menghadapi perubahan iklim. Fenomena cuaca ekstrem yang kini lebih sering terjadi menunjukkan dampak nyata perubahan iklim yang tidak dapat diabaikan.
Menurut Erbi Setiawan, PhD Researcher di Belanda, banjir bandang yang terjadi merupakan konsekuensi nyata dari kerusakan tata guna lahan. Berkurangnya tutupan vegetasi, rusaknya daerah resapan, serta alih fungsi lahan tanpa kendali membuat air hujan tidak dapat meresap dan langsung menjadi limpasan permukaan dengan volume besar, sehingga mempercepat terjadinya banjir. “Kejadian ini sebenarnya sudah banyak diperingatkan oleh para akademisi, mengingat alih fungsi lahan yang terus berlangsung dan lemahnya pengawasan. Namun, peringatan tersebut seringkali belum direspons dengan tindakan yang cukup,” tambah Erbi.
Kejadian banjir bandang ini menegaskan bahwa perbaikan tata kelola lahan tidak bisa ditunda. Regulasi terkait tata ruang dan penggunaan lahan perlu dievaluasi secara menyeluruh, disertai penguatan pengawasan implementasinya. Meski sejumlah aturan sudah tersedia, pelaksanaannya sering lemah, sehingga kerusakan lahan terus berlanjut dan risiko bencana meningkat. Namun, upaya teknis dan kebijakan saja tidak cukup. Perubahan perilaku manusia menjadi faktor mendasar dalam mencegah bencana. Aspek lingkungan harus ditempatkan sebagai prioritas dalam setiap aktivitas pembangunan maupun kehidupan sehari-hari. Hidup berdampingan dengan alam bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan sebagai komitmen nyata.
Baca juga: Dompet Dhuafa Aktifkan Posko dan Dapur Umum Tangani Dampak Bencana di Sumatera
Ketahanan Perkotaan: Kolaborasi Lintas Sektor Kunci Keberhasilan
Dalam kondisi cuaca ekstrem yang semakin sering dan tidak menentu, ketahanan perkotaan harus menjadi visi bersama pembangunan. Ketahanan ini dapat dicapai melalui intervensi struktural, seperti drainase dan infrastruktur pengendali banjir, serta intervensi non-struktural, seperti tata ruang berbasis risiko, edukasi publik, dan penguatan sistem peringatan dini.
“Dari segi institusional, memang betul pemerintah memiliki peran sentral, tetapi bukan berarti pihak lain tidak memiliki peran. Kolaborasi dari berbagai sektor (pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat) merupakan kunci utama keberhasilan dalam mewujudkan ketahanan perkotaan,” jelas Co-Founder Water Network Initiative tersebut.
Rekomendasi Strategis
Beberapa langkah yang disarankan meliputi:
• Rehabilitasi hutan dan lahan kritis di wilayah hulu.
• Evaluasi dan penguatan regulasi tata guna lahan, termasuk pengawasan ketat.
• Penataan ruang berbasis risiko untuk mencegah pembangunan di zona rawan.
• Penerapan solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk pengendalian banjir.
• Penguatan sistem peringatan dini.
• Penguatan kesadaran masyarakat dan kolaborasi lintas sektor.
Banjir bandang di Sumatera menjadi pengingat kuat bahwa perubahan iklim, kerusakan tata guna lahan, dan perilaku manusia saling berkaitan erat. Upaya mitigasi yang efektif hanya dapat dicapai melalui kebijakan yang tepat, pengawasan konsisten, perilaku masyarakat yang sadar lingkungan, dan kolaborasi lintas sektor.


