Berita Kota – Sebagainana pada musim-musim kemarau sebelumnya, air dari Waduk Malahayu kembali dialirkan untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi, palawija, dan tebu. Sayangnya, masalah sedimentasi yang akut membuat kinerja Waduk yang dibangun pada 1934 ini tidak optimal.


Terletak di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes. Waduk ini dioperasikan untuk menampung air dari sungai Kabuyutan, yang memiliki dua anak sungai yaitu sungai Ciomas yang berasal dari Gunung Heubeulisuk, dan sungai Cigora yang berasal dari Gunung Beleketepe.

Saat ini, Waduk Malahayu menjadi tumpuan penyedia air irigasi untuk lahan pertanian di Brebes seluas 12.674 hektar. Terbagi kedalam tiga daerah irigasi, yakni Daerah Irigasi Kabuyutan (4.166 Ha), Daerah Irigasi Jengkolak (6.173 Ha), dan Daerah Irigasi Babakan (2.335 Ha).

Masing-masing Daerah Irigasi, kemudian disalurkan dalam saluran-saluran Induk, Sekunder dan Tersier. Semua saluran ini membentuk jaringan irigasi.

Saluran air di sekitar Waduk Malahayu memiliki total panjang 35,674 km. Saluran tersebut terdiri dari Saluran Induk (SI) Babakan dengan panjang 9,126 km, Saluran Induk Jengkelok dengan panjang 4,308 km, Saluran Induk Kabuyutan dengan panjang 3,440 km, dan Saluran Sekunder Tanjung dengan panjang 18,800 km.

Sistem pengairan dari Bendungan Malahayu digunakan untuk mengairi sawah di empat kecamatan yakni Kecamatan Banjarharjo, Kersana, Ketanggungan, dan sebagian Kecamatan Tanjung. Saat ini lebih dari 12 ribu hektar lahan yang dialiri.
Pada Senin pagi (12/02/2024) saat Berita Kota bertandang ke Waduk yang kini telah direvitalisasi, terpantau volume air di waduk ini adalah sekitar 13 juta meter kubik, atau hanya sekitar 43% dari volume normalnya pada 31 juta meter kubik. Tinggi permukaan air waduk juga turun 3 meter dari batas limpahan air. Meski demikian, Malahayu masih mampu mengalirkan 3 meter kubik air per detik.

Menurut Koordinator Bendungan Waduk Malahayu dari BBWS Cimanuk-Cisanggarung, Ruskamto menyebut dengan 13 juta meter kubik dan batas minimal 2 juta meter kubik, cadangan air di Waduk Malahayu diharapkan mampu mensuplai pengairan hingga 2 bulan kedepan.

“Kami memiliki dan mematuhi Rencana Tahunan Operasional Waduk (RTOW). Dimana proses pengairan tidak bisa dilakukan semena-mena. Ada ketentuan dan batasan operasionsl yang harus dilakukan untuk menjaga stabilitas debit air”, jelasnya.

Lebih jauh dijelaskan olehnya bahwa saat ini mereka telah membuat kesepakatan dengan sejumlah pemangku kepentingan, termasuk dinas terkait, para petani hingga kepala desa. Dalam sebuah nota kesepahaman yang di tanda-tangani bersama. Tujuannya adalah menghindari kesalah pahaman dan konflik dalam pengelolaan air irigasi.

“Kami sudah membuat kesepakatan, terkait pengelolaan air irigasi ini. Tidak bisa begitu saja datang kemari dan meminta pintu bendungan dibuka. Kalau tidak diatur, bisa saja saat ini air dibuka besar, tapi nanti tidak cukup untuk mengairi kembali. Kita ada jadwal lima hari dibuka untuk pengairan, dan tiga hari ditutup.” imbuhnya.

Ruskamto meyakini “Dengan pengelolaan irigasi yang kami lakukan, setidaknya cukup untuk mengantisipasi kebutuhan pengairan hingga Musim Tanam III saat musim hujan tiba. Namun demikian, dengan fenomena el nino membuat musim hujan bisa saja mundur.”

Sejatinya, kemampuan Waduk untuk menyimpan air telah mengalami penurunan. Dalam catatan, pada tahun 2009 cadangan air masih bisa menyimpan hingga 38 juta meter kubik. Namun kini telah turun dimana dalam kondisi normal hanya mencapai 32 juta meter kubik saja.
Sedimentasi menjadi tantangan bagi Waduk Malahayu. Sayangnya upaya revitalisasi terganjal dengan masalah pembuangan material sedimen.

Menurut Ruskamto ” Proses sedimentasi terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini akibat perubahan fungsi lahan di daerah hulu atas sejumlah sungai yang mengalir ke Waduk Malahayu. Alih fungsi inilah yang membuat kemampuan tanaman tidak bisa menahan tanah saat digerus oleh air hujan. Akibatnya, luruh kedalam sungai dan menjadi sedimen”.