Beritakota.id, Jakarta – Kejagung menetapkan Mohammad Riza Chalid, pengusaha yang dikenal sebagai “Gasoline Godfather” atau “Saudagar Minyak”, sebagai tersangka kasus korupsi. Riza Chalid diduga melakukan intervensi kebijakan Pertamina terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023, mengakibatkan kerugian negara yang fantastis mencapai Rp285 triliun!

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Riza Chalid, selaku beneficial owner PT Orbit Terminal Merak, memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak ke Pertamina, padahal perusahaan tersebut saat itu tidak membutuhkan penambahan penyimpanan BBM. Hal ini merupakan bagian dari skema yang diduga melibatkan kerja sama antara penyelenggara negara dan broker dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang.

Nama Riza Chalid memang bukan nama baru di dunia bisnis minyak Indonesia. Pengusaha yang memiliki beragam bisnis, mulai dari ritel hingga perkebunan sawit, ini telah lama menjadi figur kontroversial.

Dia bahkan dikaitkan dengan Petral, perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura dan pernah menuai kritik karena praktik pengadaan minyak yang tidak kompetitif. Kekayaannya yang diperkirakan mencapai US$415 juta, membuatnya masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi Globe Asia 2015.

Baca Juga: Kejagung Periksa Megawati Sebagai Saksi Terkait Kasus Dugaan Korupsi Sritex

Beberapa perusahaan yang dimiliki Riza Chalid, seperti Supreme Energy, Paramount Petroleum, Straits Oil dan Cosmic Petroleum, berbasis di Singapura dan terdaftar di Kepulauan Virgin British, wilayah yang dikenal sebagai surga pajak.

Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka ini menjadi babak baru dalam pemberantasan korupsi di sektor energi Indonesia. Besarnya kerugian negara yang ditimbulkan menunjukkan betapa sistemiknya dugaan praktik korupsi tersebut. Publik menanti proses hukum selanjutnya dan berharap kasus ini dapat diusut tuntas untuk mengungkap jaringan dan aktor lainnya yang terlibat. Kasus ini juga menjadi sorotan tajam atas tata kelola perusahaan negara dan pengawasan terhadap bisnis minyak di Indonesia.