Beritakota.id, Jakarta – Harga emas melonjak ke rekor tertinggi pada perdagangan di hari Rabu (01/10/2025), didorong oleh melemahnya dolar dan permintaan aset safe haven setelah penutupan pemerintah AS. Data ketenagakerjaan yang lebih lemah memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga bulan ini. Harga emas dunia naik 0,1% menjadi $3.861per ons setelah menyentuh rekor tertinggi $3.895,09.

Kenaikan harga terjadi saat Dolar AS melemah terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya. Ini membuat emas yang dihargakan dalam dolar lebih terjangkau bagi pembeli luar negeri. Sebagaimana diketahui bahwa Dolar AS telah tertekan karena penutupan pemerintahan (shutdown) Amerika Serikat.

Selain karena pelemahan Dolar AS, perekonomian yang melambat dan suku bunga AS yang lebih rendah juga berdampak positif bagi harga emas. Pelaku pasar memperkirakan peluang penurunan suku bunga AS sebesar 99% pada bulan ini.

Disisi lain, ada peningkatan minat beli dari investor Barat pada emas, baik secara institusional maupun ritel, seiring munculnya ‘FOMO’ . Tak heran bila saat ini telah berkembang wacana bahwa jika tren ini berlanjut, harga emas bisa lebih dini menembus di atas $4.000 per troy ons.

Baca juga : Bank Sentral AS Berhati-hati, Wall Street Berakhir Melemah

Sementara itu, indek bursa saham utama Wall Street ditutup menguat pada hari Rabu (01/10/2025), dimana dorongan terbesar berasal dari sektor Kesehatan. Para investor mengabaikan data penggajian sektor swasta yang lebih lemah dari perkiraan dan ketidakpastian di sekitar hari pertama penutupan pemerintah federal AS.

Data ADP menunjukkan penurunan penggajian sektor swasta sebesar 32.000 dan penurunan 3.000 yang direvisi turun pada bulan Agustus. Angka-angka ini lebih lemah dari perkiraan ekonom untuk pertumbuhan 50.000 pada bulan September dan laporan sebelumnya yang menunjukkan kenaikan 54.000 pada bulan Agustus. Di sisi lain, data dari Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan manufaktur AS bergerak menuju pemulihan pada bulan September.

Bursa saham AS dibuka lebih rendah namun kemudian menguat. Di antara 11 sektor industri utama S&P 500, sektor kesehatan, yang mencatat kenaikan terbesar, didorong oleh perusahaan farmasi.

Kenaikan sektor ini setelah ada kesepakatan antara Pfizer dan Presiden AS Donald Trump. Perusahaan farmasi ini setuju untuk menurunkan harga obat resep dalam program Medicaid—dibandingkan dengan biaya di negara maju lainnya, dengan imbalan keringanan tarif. Trump mengatakan ia memperkirakan lebih banyak perusahaan farmasi akan mengikuti langkah tersebut.

Sektor ini kemungkinan besar masih akan reli setelah berkinerja lebih buruk dibandingkan sektor pasar lainnya sepanjang tahun ini. Ini sesuatu yang tidak terhindarkan, investor belum mengalokasikan dana sebesar yang mereka investasikan ke sektor kesehatan seperti halnya ke sektor teknologi dan semua sensasi AI.

Indek Dow Jones naik 43,21 poin, atau 0,09%, menjadi 46.441,10, S&P 500 naik 22,74 poin, atau 0,34%, menjadi 6.711,20, dan Nasdaq naik 95,15 poin, atau 0,42%, menjadi 22.755,16.

Dolar AS memang kembali menguat setelah Mahkamah Agung AS menyatakan akan mendengarkan argumen pada bulan Januari mengenai upaya Presiden Donald Trump untuk mencopot Gubernur Federal Reserve Lisa Cook, sehingga ia tetap menjabat untuk saat ini. Kekhawatiran pasar tentang independensi The Fed kini menjadi prioritas kedua untuk beberapa bulan ke depan.

Penutupan pemerintah AS telah menghambat aliran data ekonomi federal di saat ketidakpastian dan perpecahan di antara para pembuat kebijakan. Pemerintahan Trump pada hari Rabu membekukan $26 miliar untuk negara-negara bagian yang condong ke Demokrat, menindaklanjuti ancaman untuk menggunakan penutupan tersebut guna menargetkan prioritas Demokrat. Ada sebagian keyakinan bahwa kebuntuan akan berlangsung antara satu atau dua minggu, meskipun ada pandangan minor pada kemungkinan penutupan yang lebih lama.

Indeks dolar naik tipis 0,1% menjadi 97,80, setelah empat hari berturut-turut melemah, karena para pedagang mempertimbangkan lamanya penutupan pemerintah AS dan dampaknya terhadap rilis data ekonomi. Terhadap yen, dolar diperdagangkan pada 147,305 yen, naik 0,2% dari level akhir AS.

Euro berada di level $1,1725, turun 0,04% sejauh ini di Asia, setelah Wall Street Journal melaporkan bahwa Amerika Serikat akan memberikan intelijen kepada Ukraina untuk serangan rudal jarak jauh terhadap infrastruktur energi Rusia. Poundsterling stabil di level $1,3474. Dolar Australia melemah 0,1% menjadi $0,6608, sementara kiwi mencapai $0,58145, sedikit berubah pada awal perdagangan.

Pada perdagangan komoditi lainnya, Harga minyak merosot untuk hari ketiga berturut-turut ke level terendah dalam 16 minggu pada hari Rabu karena penutupan pemerintah AS memicu kekhawatiran tentang ekonomi global, sementara para pedagang memperkirakan lebih banyak pasokan minyak akan masuk ke pasar dengan rencana peningkatan produksi oleh OPEC+ bulan depan.

Harga minyak mentah berjangka Brent turun 68 sen, atau 1,0%, menjadi $65,35 per barel, sementara harga minyak mentah WTI AS turun 59 sen, atau 0,9%, menjadi $61,78. Itu adalah penutupan terendah untuk Brent sejak 5 Juni dan untuk WTI sejak 30 Mei.

Pertumbuhan produksi minyak AS akan terhenti jika harga tetap mendekati $60 per barel, karena lebih sedikit lokasi pengeboran yang menguntungkan pada level tersebut.

Ada keyakinan bahwa OPEC+ akan meningkatkan produksi pada bulan November dengan jumlah yang hampir sama dengan kenaikan 500.000 barel per hari pada bulan September, bahkan ketika permintaan AS dan Asia mulai menurun.

Harga minyak juga tertekan oleh peningkatan persediaan minyak mentah AS yang lebih besar dari perkiraan minggu lalu. Badan Informasi Energi AS (EIA) mengatakan ada kenaikan 1,8 juta barel minyak mentah ke dalam pasokan selama sepekan hingga 26 September, melampaui perkiraan analis sebesar 1,0 juta barel dalam jajak pendapat Reuters. Walaupun di hari Selasa, American Petroleum Institute telah melaporkan pengeluaran pasokan 3,7 juta barel dalam sepekan tersebut.

Disisi lain, kawasan konsumen minyak terbesar di dunia – Asia, menunjukkan data aktivitas pabrikan di bulan September mengalami kontraksi. Ini semakin menambah kekhawatiran tentang prospek permintaan bahan bakar kedepan.

Di Venezuela, anggota OPEC yang terkena sanksi AS, ekspor minyak rata-rata mencapai 1,09 juta barel per hari pada bulan September, level bulanan tertinggi sejak Februari 2020. (Lukman Hqeem)