Beritakota.id, Jakarta – Kejahatan tidak pernah tidur. Ia meretas jaringan keuangan lintas negara, menyelundupkan manusia melewati imigrasi, dan mencuci uang melalui rekening-rekening yang tak terdeteksi. Sementara itu, hukum kita masih tersandera prosedur, terjebak yurisdiksi, dan terkadang bahkan tertidur dalam batas nasionalisme formal. Dalam dunia yang bergerak cepat dan tak kenal batas, pertanyaan pentingnya bukan lagi apakah kejahatan melampaui batas negara, melainkan: apakah hukum kita siap mengejarnya?

Pertanyaan inilah yang digugat, dipetakan, dan dijawab oleh Dr. Efendi Lod Simanjuntak dalam bukunya Hukum Pidana Khusus dan Kejahatan Transnasional: Pengantar dan Konsep Penegakan Hukum Lintas Yurisdiksi. Buku ini bukan sekadar pengantar akademik, tetapi sebuah alarm—bahwa pendekatan hukum pidana klasik sudah saatnya direvisi secara mendasar agar mampu menghadapi kompleksitas kejahatan global.

Dr. Efendi, seorang akademisi sekaligus praktisi hukum, meramu pemikiran-pemikiran strategis dalam buku ini dengan gaya yang tajam, sistematis, dan tidak kehilangan empati sosial. Ia menunjukkan bahwa kejahatan transnasional bukan sekadar soal volume kerugian atau jangkauan pelaku, tetapi menyangkut persoalan serius: kekosongan koordinasi, kerentanan sistem hukum, dan keterbatasan penegakan lintas yurisdiksi.

Baca Juga: Raih Gelar Doktor Hukum di Universitas Borobudur, Adya Laksmana dan Enita Adyalaksmita Kompak Berprestasi

Buku ini membuka mata pembaca pada beragam kategori kejahatan lintas batas—mulai dari perdagangan manusia, pencucian uang, terorisme internasional, cyber crime, hingga kejahatan lingkungan. Masing-masing dibahas dalam bingkai hukum pidana khusus, sebuah subdisiplin yang berfungsi memperluas perangkat hukum di luar KUHP klasik. Dalam sistem Indonesia, hukum pidana khusus mencakup peraturan seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU Terorisme, UU Pencucian Uang, dan lain-lain. Buku ini menyusun benang merah di antara semua itu: bahwa hukum pidana tidak bisa berjalan sendiri-sendiri ketika kejahatan sudah membentuk jaringan internasional.

Salah satu kekuatan utama buku ini adalah pendekatannya yang tidak hanya normatif, tapi juga konseptual dan reflektif. Dr. Efendi menjelaskan bahwa kelemahan utama dalam menangani kejahatan transnasional bukan hanya pada isi undang-undang, tetapi pada kegagalan membangun mekanisme kerja sama antarnegara yang efektif. Penegakan hukum tidak bisa bergantung pada niat baik satu institusi saja. Ia harus ditopang oleh jaringan diplomatik, kesepakatan ekstradisi, dan pengakuan bersama terhadap pelaku dan bukti.

Tak kalah penting, buku ini juga menyoroti konflik antaryuridiksi, yaitu saat satu negara tidak mengakui kejahatan tertentu atau menolak menyerahkan warganya. Dalam kondisi seperti ini, keadilan sering kali terhenti di perbatasan, sementara korban terus bertambah dan pelaku berpindah negara. Buku ini menggambarkan realitas tersebut dengan sangat gamblang, sekaligus menawarkan peta jalan ke arah pembaruan sistem.

Bahasa yang digunakan cukup akademik dalam buku ini, namun tidak kaku. Dr. Efendi berhasil menyeimbangkan kedalaman teoritis dengan kemudahan pemahaman. Ia tidak menggurui, melainkan mengajak pembaca berpikir bersama tentang nasib hukum dalam lanskap dunia yang kian terhubung tapi juga kian berisiko. Buku ini juga memperlihatkan bahwa literatur hukum pidana Indonesia tidak boleh terus-terusan berkutat pada pengulangan pasal demi pasal, tetapi harus naik kelas menjadi literatur yang kritis terhadap dinamika global dan reflektif terhadap realitas domestik.

Sebagai karya ilmiah, tentu pembaca akan berharap buku ini diperkaya lagi dengan studi kasus konkret, seperti penanganan kasus cyber fraud lintas negara, penindakan terhadap pelaku teror asing, atau mekanisme mutual legal assistance (MLA) yang sukses diterapkan. Namun ketiadaan itu bukan kelemahan, melainkan undangan terbuka bagi pembaca dan peneliti lain untuk menjadikannya titik awal riset lanjutan.

Siapa yang cocok membaca buku ini? Jawabannya luas. Mahasiswa hukum yang ingin memahami konteks baru penegakan hukum pidana, dosen dan peneliti yang fokus pada perbandingan hukum, aparat penegak hukum yang bergulat langsung dengan perkara transnasional, hingga pembuat kebijakan yang merancang arah baru penegakan hukum nasional. Bahkan bagi masyarakat umum yang ingin memahami mengapa negara tampak “lambat” dalam menangkap pelaku kejahatan yang lari ke luar negeri, buku ini memberikan jawaban yang tidak hitam putih, tetapi penuh konteks.

Hal yang paling menggugah, buku ini ditutup dengan satu premis besar yang tak boleh kita abaikan: bahwa hukum pidana hanya akan menjadi teks kosong jika tak mampu menjangkau pelaku kejahatan. Pada era saat ini, keadilan bukan hanya soal menangkap pelaku, tapi mengejarnya—ke mana pun ia pergi, sejauh apa pun ia menyembunyikan kejahatannya.
Ketika kejahatan menyeberangi batas negara, hukum tak boleh berhenti di pos imigrasi. Ia harus ikut menyeberang, dengan prinsip, kerja sama, dan keberanian untuk menegakkan keadilan lintas batas.

Pasalnya, dalam dunia global, keadilan yang tinggal diam adalah keadilan yang kalah sebelum bertarung.

Penulis: Dr. Efendi Lod Simanjuntak, S.H., M.H