Beritakota.id, Jakarta – Industri pinjaman daring (P2P lending) terus menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan berkontribusi nyata bagi sektor keuangan nasional. Di tengah upaya meningkatkan inklusi keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memperkuat regulasi guna menjaga keberlangsungan ekosistem industri ini.

Namun, di balik pertumbuhan tersebut, industri P2P lending atau yang dikenal juga dengan pindar, masih menghadapi sejumlah tantangan serius, termasuk maraknya pinjaman online ilegal, praktik joki pinjaman, dan munculnya komunitas gagal bayar (galbay) yang berpotensi mengganggu stabilitas dan kepercayaan dalam ekosistem.

Peneliti Ekonomi Digital CELIOS, Rani Septyarini, menjelaskan bahwa sebagai platform two-sided market, P2P lending harus mampu menyeimbangkan insentif antara lender (pemberi pinjaman) dan borrower (peminjam). Menurutnya, suku bunga yang terjangkau penting untuk menarik peminjam, namun tetap harus proporsional untuk mencerminkan risiko kredit agar menarik bagi investor, ungkapnya di Jakarta, Senin (11/8/2025).

Baca juga : Utang Pinjol Indonesia Tembus Rp 83,52 Triliun! Waspada Risiko BNPL yang Meningkat

“Jika bunga terlalu rendah, bukan hanya imbal hasil lender yang terdampak, tapi juga keberlangsungan platform itu sendiri bisa terancam. Akibatnya, likuiditas menurun dan akses masyarakat terhadap kredit bisa semakin terbatas,” ujarnya. Rani juga memperingatkan, dalam kondisi demikian, masyarakat bisa kembali terjerumus pada praktik predatory lending dari pinjol ilegal, jelasnya.

Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, menyoroti peran penting pindar dalam memperluas akses pembiayaan, terutama bagi kelompok masyarakat yang tidak terjangkau sistem perbankan konvensional. “Proses pengajuan yang cepat, tanpa agunan, dan hanya berbasis aplikasi membuat P2P lending menjadi pilihan utama bagi banyak pelaku UMKM,” katanya.

Selain itu, dari sisi lender, platform ini menawarkan alternatif investasi dengan imbal hasil tinggi. “Tingkat pengembalian di platform P2P bisa mencapai 15–20 persen per tahun, jauh di atas bunga deposito. Tak heran jika jumlah investor terus bertumbuh,” jelas Huda. Namun, ia mengingatkan bahwa imbal hasil tinggi juga dibarengi risiko gagal bayar, sehingga regulasi dan transparansi menjadi krusial untuk menjaga kepercayaan investor.

Peneliti CELIOS lainnya, Dyah Ayu, menekankan pentingnya penetapan suku bunga yang adil berbasis risiko. “Regulasi harus mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan konsumen dan daya tarik bagi investor. Evaluasi berkala atas kebijakan bunga juga perlu dilakukan untuk memastikan keberlangsungan industri,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perlunya langkah komprehensif dari pemerintah dalam menjaga ekosistem P2P lending, seperti penguatan Satgas atau Pokja pemberantasan pinjol ilegal, pedoman penanganan galbay, serta pencegahan penipuan oleh joki pinjaman.

Tak kalah penting, menurut Dyah, adalah peningkatan literasi keuangan masyarakat. “Edukasi berkelanjutan mengenai hak dan kewajiban dalam meminjam sangat diperlukan agar konsumen tidak mudah terjebak utang berlebihan dan mampu menggunakan layanan pinjaman daring secara bijak,” pungkasnya.

Dengan dukungan regulasi yang tepat, inovasi platform, dan peningkatan pemahaman masyarakat, industri P2P lending diyakini dapat terus tumbuh secara sehat. Kepercayaan lender terjaga, borrower terlindungi, dan platform mampu menjalankan perannya dalam memperluas inklusi keuangan nasional. (Herman Effendi / Lukman Hqeem)