Beritakota.id, Jakarta – Di tengah maraknya program kesehatan nasional seperti Cek Kesehatan Gratis, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, skrining Penyakit Tidak Menular, penyediaan makanan bergizi gratis bagi anak sekolah, serta upaya pencegahan stunting, muncul satu isu mendasar yang kerap terabaikan: keyakinan masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan itu sendiri.

Masalah ini menjadi sorotan dalam peluncuran buku terbaru Sehat Setengah Hati – Interpretasi Paradoks Health Belief Model karya Dr. Ray Wagiu Basrowi, seorang peneliti di bidang Kedokteran Komunitas dan pendiri Health Collaborative Center (HCC). Acara peluncuran buku ini digelar pada Rabu (28/5) di Jakarta.

Menurut Dr. Ray, pendekatan Health Belief Model (HBM) yang telah digunakan secara luas dalam intervensi kesehatan masyarakat di berbagai negara sejak 1950-an, terbukti mampu meningkatkan efektivitas program kesehatan melalui pemahaman mendalam terhadap psikologi individu dan persepsi masyarakat mengenai penyakit serta tindakan pencegahan.

“Berapapun besar investasi negara dalam bidang kesehatan akan sia-sia jika masyarakat merasa tidak rentan terhadap penyakit, tidak percaya pada manfaat pemeriksaan, atau terus merasa ‘masih muda, masih sehat, belum perlu periksa’,” ucap Dr. Ray. “Inilah alasan mengapa pendekatan Health Belief Model harus diintegrasikan dalam strategi komunikasi dan pelaksanaan setiap program kesehatan.”

Dalam bukunya, ia menjelaskan bagaimana kegagalan memahami keenam dimensi ini telah berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat terhadap program preventif seperti vaksinasi, pemeriksaan gula darah, dan promosi gaya hidup sehat.

Nila F. Moeloek, Menteri Kesehatan RI 2014–2019 yang hadir sebagai narasumber dalam peluncuran buku, menyampaikan bahwa HBM adalah pendekatan strategis yang sangat penting untuk diperhatikan para pengambil kebijakan.

“Konsep ini merupakan intervensi ilmiah yang dapat meningkatkan efektivitas berbagai program kesehatan nasional,” tegasnya.

Sementara itu, Rory Asyari, figur publik sekaligus influencer di bidang kesehatan, menambahkan bahwa penerapan HBM juga sangat penting bagi para pendidik dan penyampai pesan kesehatan di media sosial.
“Pesan-pesan kesehatan yang didasarkan pada pendekatan HBM akan lebih tepat sasaran dan sesuai konteks, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat luas,” ujarnya.

Melalui buku ini, Dr. Ray menyerukan kepada Kementerian Kesehatan dan seluruh pemangku kepentingan di sektor kesehatan untuk secara serius mengintegrasikan pendekatan Health Belief Model dalam desain program, pelatihan kader, serta strategi komunikasi perubahan perilaku.

Ia juga menegaskan pentingnya memasukkan indikator baru dalam evaluasi program kesehatan, yakni indikator “kepercayaan dan makna sehat” sebagai cerminan sejauh mana masyarakat memahami dan mempercayai pentingnya tindakan pencegahan penyakit. (Herman Effendi).