Akhirnya, drama panjang penutupan pemerintah Amerika Serikat berakhir dengan kompromi yang terasa lebih seperti jeda, bukan penyelesaian. Setelah berpekan-pekan kekacauan fiskal dan stagnasi politik yang mempermalukan negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Senat AS meloloskan paket kompromi untuk membuka kembali pemerintahan federal—sebuah keputusan yang menandai berakhirnya shutdown terpanjang dalam sejarah Amerika. Namun di balik euforia pasar dan lonjakan saham-saham teknologi, ada pertanyaan yang lebih dalam: apakah Amerika benar-benar kembali ke jalur stabilitas, atau sekadar menunda krisis yang lebih besar?
Kompromi yang disetujui Senat dengan suara 60–40 itu menyelamatkan jutaan warga Amerika dari risiko kehilangan tunjangan pangan, mencegah PHK massal pegawai federal, dan mengakhiri kebuntuan birokrasi yang telah melumpuhkan sebagian besar kegiatan pemerintah sejak awal Oktober. Tetapi, seperti banyak kesepakatan politik di Washington, kompromi ini adalah kemenangan tanpa kejelasan. Pemerintah memang kembali beroperasi, tetapi hanya hingga 30 Januari. Setelah itu, Kongres harus kembali menghadapi persoalan yang sama: bagaimana membiayai pemerintahan dengan utang yang telah menembus $38 triliun dan defisit tahunan mencapai $1,8 triliun.
Bagi investor, yang terpenting bukanlah detail kebijakan fiskal, tetapi kepastian. Dan kepastian, betapapun rapuhnya, telah cukup untuk memicu lonjakan besar di Wall Street. S&P 500 naik 1,54% ke level 6.832 poin, sementara Nasdaq melonjak 2,27%, kenaikan harian terbesar sejak Mei. Dow Jones Industrial Average menguat 0,81% ke 47.368 poin.
Saham-saham teknologi memimpin reli, didorong oleh optimism baru terhadap sektor kecerdasan buatan. Nvidia naik 5,8%, Palantir melonjak hampir 9%, dan Tesla menguat 3,7%. Bagi sebagian pelaku pasar, reli ini lebih bersifat psikologis ketimbang fundamental — bentuk klasik dari relief rally setelah tekanan panjang. Namun bagi mereka yang sudah menanti peluang koreksi di sektor teknologi, momentum ini adalah kesempatan untuk kembali masuk sebelum narasi besar AI kembali mengambil alih panggung.
Baca juga : Bank Sentral AS Berhati-hati, Wall Street Berakhir Melemah
Euforia Pasar dan Realitas Politik
Tidak dapat disangkal bahwa kesepakatan di Senat memberi napas segar bagi pasar global. Namun optimisme ini memiliki dasar yang rapuh. Banyak pelaku pasar yang paham bahwa kompromi ini tidak menyelesaikan persoalan struktural — baik terkait defisit fiskal AS maupun polarisasi politik yang semakin tajam.
Para Demokrat marah karena subsidi kesehatan bagi 24 juta warga Amerika masih belum dijamin kelanjutannya, sementara Partai Republik menolak semua bentuk kenaikan anggaran sosial. Bahkan di kalangan investor, sentimen yang menguat lebih disebabkan oleh hilangnya ketidakpastian jangka pendek, bukan oleh keyakinan terhadap stabilitas kebijakan fiskal AS.
Namun efeknya terhadap Dolar AS langsung terasa. Mata uang berisiko seperti euro dan poundsterling menguat — masing-masing menuju $1,1555 dan $1,3165. Dolar Australia juga menanjak 0,7% ke $0,6536, sementara yen Jepang melemah ke level terendah sejak Februari, seiring berkurangnya permintaan terhadap aset safe haven. Para pedagang melihat peluang bahwa berakhirnya shutdown akan memulihkan data ekonomi yang tertunda, termasuk laporan penggajian non-pertanian AS yang menjadi acuan penting bagi kebijakan moneter The Fed.
Emas: Naik karena Harapan, Bukan Ketakutan
Sementara bursa saham berpesta, pasar emas juga mengirimkan sinyal penting. Harga emas spot menembus $4.140 per ons, level tertinggi dalam hampir tiga minggu, memperpanjang reli yang dimulai sejak akhir pekan lalu. Katalis utamanya bukan hanya berakhirnya shutdown, tetapi juga meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga Federal Reserve pada bulan Desember.
Bagi investor makro, kombinasi dua faktor ini — stabilitas politik jangka pendek dan kebijakan moneter yang lebih longgar — adalah bahan bakar sempurna bagi reli emas. Sebab, seperti yang sering saya tekankan, emas tidak hanya bergerak karena ketakutan, tetapi juga karena ekspektasi. Dan saat ini, ekspektasi terhadap penurunan suku bunga menjadi semakin kuat.
Menurut alat CME FedWatch, pasar memperkirakan probabilitas 64% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin bulan depan. Namun komentar terbaru dari Gubernur Fed Stephen Miran yang mendukung pemotongan hingga 50 basis poin telah memperluas ruang spekulasi. Dengan inflasi yang terus melandai dan tingkat pengangguran mulai meningkat, narasi “pelonggaran moneter terukur” kembali mendapatkan legitimasi.
Dalam pandangan saya, bias pasar untuk sisa tahun ini masih bullish terhadap emas. Ketika ketidakpastian politik berkurang, fokus investor beralih kembali ke fundamental moneter. Emas, dalam konteks ini, mendapatkan dua keuntungan: dari pelemahan dolar akibat kebijakan dovish, dan dari meningkatnya minat lindung nilai terhadap volatilitas jangka panjang yang mungkin muncul kembali saat siklus fiskal berikutnya dimulai.
Di sisi teknikal, zona $4.120–$4.160 menjadi area kunci yang menandai perubahan tren jangka pendek. Jika harga berhasil bertahan di atas level ini, potensi pengujian kembali ke puncak Oktober menjadi sangat terbuka. Namun sebaliknya, jika tekanan jual muncul dari aksi ambil untung pasca-rally, area $4.090 akan berfungsi sebagai dukungan sementara. Bagi trader dengan horizon 4–8 jam, bias tetap positif dengan target intraday di $4.175–$4.190.
Emas, lebih dari sekadar komoditas, kini kembali menjadi refleksi atas kelelahan sistemik pasar terhadap politik Washington. Setiap kali pemerintah Amerika terjebak dalam permainan kekuasaan, emas menjadi mata uang kepercayaan yang tidak bergantung pada logika fiskal atau kredibilitas pejabat publik.
Minyak: Optimisme yang Tertahan
Sementara itu, pasar minyak tampak tidak terpengaruh oleh euforia politik Washington. Harga Brent turun tipis 0,2% menjadi $63,93 per barel, dan WTI bertahan di sekitar $60. Tekanan datang dari meningkatnya kekhawatiran kelebihan pasokan global — terutama setelah OPEC+ menegaskan rencana peningkatan produksi untuk Desember dan menunda revisi output hingga kuartal pertama tahun depan.
Optimisme bahwa pembukaan kembali pemerintah AS akan mendukung permintaan energi hanya bersifat simbolik. Realitas pasarnya jauh lebih kompleks: pertumbuhan ekonomi global masih melemah, permintaan energi di Tiongkok dan India stagnan, sementara stok minyak yang disimpan di laut Asia meningkat dua kali lipat dalam beberapa minggu terakhir akibat sanksi terhadap Rusia dan pembatasan kuota impor di Tiongkok.
Dalam konteks makro, minyak kini berhadapan dengan dua tekanan struktural: ekonomi global yang melambat dan fragmentasi geopolitik yang belum menunjukkan tanda-tanda reda. Bahkan jika permintaan pulih, pasokan dari Timur Tengah dan Rusia tetap menjadi variabel yang tidak dapat diandalkan, terutama setelah sanksi baru Washington terhadap Rosneft dan Lukoil.
Refleksi Pasar: Antara Rasionalitas dan Harapan
Pasar keuangan global minggu ini memperlihatkan paradoks klasik: harga aset naik bukan karena kondisi ekonomi membaik, tetapi karena ketidakpastian menurun. Washington telah menutup salah satu babak dramatisnya, namun ekonomi Amerika tetap menghadapi tantangan besar — dari defisit fiskal yang membengkak, inflasi yang masih belum sepenuhnya terkendali, hingga ancaman perlambatan tenaga kerja.
Investor profesional tahu bahwa “ketenangan” seperti ini sering kali adalah ilusi. Setiap kali pasar merayakan kompromi politik, ia juga sedang menanam benih volatilitas masa depan. Karena itu, sikap terbaik bukanlah euforia, melainkan kehati-hatian.
Sebagaimana emas yang memantul dari tekanan dan minyak yang masih tertahan oleh kenyataan, Wall Street pun sedang menari di antara rasionalitas dan harapan — menunggu babak berikutnya dari drama kebijakan AS yang tak pernah benar-benar berakhir. (Lukman Hqeem)


