Beritakota.id, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan antar-penyelenggara peer-to-peer (P2P) lending atau Pinjaman Daring (Pindar) dalam penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) pada tahun 2018. Penegasan itu disampaikan Entjik saat hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk perkara dugaan penetapan suku bunga Pindar yang digelar di Gedung R.B. Supardan, Kelapa Gading, Jakarta, Selasa (21/10).

Menurut Entjik, kebijakan batas maksimum manfaat ekonomi saat itu merupakan pelaksanaan langsung atas arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana tertuang dalam Surat OJK Nomor S-537/PL.122/2025 tanggal 16 Mei 2025, bukan hasil kesepakatan antar-anggota AFPI.

“Tidak ada niat atau kesepakatan antarpenyelenggara untuk menetapkan suku bunga tersebut. Justru secara komersial, para anggota akan lebih diuntungkan bila tidak ada pembatasan. Pengaturan batas maksimal manfaat ekonomi itu pada dasarnya mengorbankan potensi keuntungan yang lebih besar bagi anggota,” jelas Entjik.

Lebih lanjut, Entjik menjelaskan bahwa OJK memberikan arahan untuk menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi sebesar 0,8 persen per hari, dengan tujuan utama membedakan secara tegas antara platform Pindar legal dengan pinjaman online ilegal (pinjol ilegal).

Baca Juga : Utang Pinjol Indonesia Tembus Rp 83,52 Triliun! Waspada Risiko BNPL yang Meningkat

Dalam keterangannya, Entjik turut menyoroti tantangan besar yang dihadapi industri Pindar akibat maraknya pinjol ilegal di tanah air. Berdasarkan data OJK, sejak 2017 hingga 13 Maret 2025, Satgas PASTI telah menghentikan 10.733 entitas pinjol ilegal dan pinjaman pribadi, jumlah yang 112 kali lebih banyak dibandingkan platform Pindar legal yang saat ini hanya berjumlah 96 penyelenggara.

“AFPI terus bekerja sama dengan Satgas Waspada Investasi—yang kini dikenal sebagai Satgas PASTI—dalam upaya penindakan terhadap pinjol ilegal serta melakukan edukasi publik agar masyarakat lebih waspada,” ungkapnya.

Entjik juga menambahkan bahwa setiap platform Pindar memiliki strategi dan kebijakan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi yang berbeda, disesuaikan dengan profil risiko dan karakter target pasar masing-masing, sehingga persaingan di industri tetap berjalan secara sehat dan dinamis.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa industri P2P lending memiliki peran penting dalam melayani masyarakat underserved dan unbanked segmen yang belum terjangkau layanan lembaga keuangan konvensional seperti bank atau multifinance.

Dalam sidang bernomor register 05/KPPU-I/2025 tersebut, Entjik juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2018 OJK menunjuk AFPI untuk mengatur batas maksimum manfaat ekonomi, karena saat itu OJK belum memiliki legal standing penuh untuk menetapkan kebijakan tersebut.

“Legal standing baru dimiliki setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sejak saat itu, kewenangan pengaturan batas maksimum manfaat ekonomi diambil alih sepenuhnya oleh OJK,” pungkasnya. (Herman Effendi/Lukman Hqeem)