Beritakota.id, Jakarta – Kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan user terminal satelit untuk slot orbit 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2016 memasuki babak baru. Tim kuasa hukum tersangka Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, MSc., menyebut penetapan tersangka terhadap klien mereka sebagai langkah tergesa-gesa dan salah alamat. Mereka menilai penetapan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan sarat muatan politik.
Menurut kuasa hukum tersangka, Rinto Maha, kliennya dijadikan kambing hitam untuk meredam tekanan internasional atas proses arbitrase yang masih berlangsung antara pemerintah Indonesia dan pihak Navayo di Singapura dan Paris. Penetapan tersangka dinilai sebagai upaya membangun narasi kriminalisasi di dalam negeri demi menjaga posisi pemerintah dalam sengketa internasional.
“Ini bukan semata perkara hukum, tapi juga politik pencitraan. Sayangnya, yang dikorbankan adalah pejabat yang hanya menjalankan tugas administratif,” kata Rinto di Jakarta Pusat, Selasa (05/08/2025).
Ia mengacu pada laporan audit investigatif BPKP yang hanya menyebut adanya potensi kerugian negara senilai Rp 306 miliar, bukan kerugian riil. Ia juga menyebut tidak ada satu rupiah pun yang dibayarkan Kementerian Pertahanan kepada pihak Navayo, meski telah diajukan tagihan.
Menurutnya, Leonardi kala itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan satelit, kliennya hanya bertugas menandatangani dokumen administratif berdasarkan perintah atasan bukan pengambil kebijakan, bukan penentu pemenang kontrak, dan bukan pengguna anggaran.
“Justru klien kami menunda pelaksanaan kontrak hingga DIPA turun pada Oktober 2016. Jadi, tidak benar jika disebut kontrak ditandatangani pada 1 Juli 2016 sebagaimana dituduhkan,” ujarnya.
Dalam dokumen praperadilan yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juli lalu, kuasa hukum juga mencantumkan sejumlah bukti surat-menyurat internal Kemenhan yang mendukung klaim tersebut. Perkara praperadilan ini dijadwalkan kembali bersandar pada 11 Agustus 2025, setelah Kejaksaan Agung absen dalam sidang perdana.
Tim hukum menekankan bahwa arbitrase di Singapura dan Paris hingga kini tidak pernah melibatkan Leonardi, baik sebagai saksi maupun pihak yang dimintai keterangan.
“Tahu-tahu malah dikriminalisasi di dalam negeri. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum,” sambung Rinto.
Rinto juga mengingatkan bahwa penegakan hukum yang sehat harus mengacu pada prinsip actual loss sebagaimana tertuang dalam UU Perbendaharaan Negara dan Putusan MK .
“Kerugian negara harus nyata, bukan sekadar potensi. Kalau tidak ada dana yang keluar, bagaimana mungkin disebut korupsi?” katanya.
Hingga kini, Kejaksaan Agung belum menjelaskan alasan penetapan tersangka tanpa menyentuh aktor-aktor kunci lain dalam struktur pengadaan, seperti Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
“Kalau kita bicara tanggung jawab, seharusnya PA dan KPA yang disorot. PPK hanya melaksanakan perintah. Tapi kok justru PPK yang dikriminalisasi?” kata Rinto.
Sementara itu kuasa hukum lainnya, Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Suryo Wiranto, menegaskan bahwa proyek satelit adalah bagian dari program strategis nasional yang telah melalui sidang kabinet terbatas dan rapat bersama lintas kementerian. Ia menyayangkan negara justru abai membela aparat yang menjalankan tugas negara.
“Ini proyek strategis pertahanan. Seharusnya negara melindungi, bukan mengorbankan. Jangan jadikan perwira TNI sebagai kambing hitam,” kata Suryo.
Mengutip Pasal 51 KUHP, dikatakan Suryo, bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia, seseorang tidak dapat dipidanakan jika perbuatannya melaksanakan perintah sesuai jabatan yang sah.
“Saudara Leonardi seharusnya dilindungi oleh Pasal 51 KUHP, karena kapasitas dirinya dalam melaksanakan tugas atau perintah atasan. Juga tidak menabrak Pasal 17 Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP),” jelas Suryo.
Tim hukum berharap sidang praperadilan pada 11 Agustus mendatang menjadi forum terbuka untuk menguji dasar hukum penetapan tersangka. “Kami siap adu bukti. Tapi hukum harus berjalan adil, bukan karena tekanan politik,” ujarnya. (Adang / Lukman Hqeem)