Beritakota.id, Jakarta – Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) pada 3 November 2025 silam, publik semestinya mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi. OTT adalah tindakan hukum paling drastis yang dapat dilakukan lembaga antikorupsi. Ia menuntut ketelitian prosedur, ketepatan informasi, dan transparansi absolut. Namun, dalam kasus ini, rangkaian informasi yang disampaikan KPK justru menimbulkan pertanyaan yang tidak kecil.

Bobson Samsir Simbolon, seorang advokat dan penyuluh antikorupsi muda, mencoba menyusun ulang potongan-potongan penjelasan KPK. Saat saya berbicara dengannya, ia tidak terburu-buru menyimpulkan—tetapi ia menunjukkan betapa narasi KPK menyisakan banyak ruang kosong. “Ada banyak bagian yang tidak terhubung,” katanya. “Dan itu harus dijawab.”

Di titik inilah persoalan OTT Riau bergerak dari sekadar kasus individu menjadi isu institusional  bagaimana sebuah lembaga penegak hukum menceritakan peristiwa kepada masyarakat, dan apakah cerita itu konsisten dengan hukum, logika, dan fakta.

Kejanggalan pertama yang disoroti Bobson menyangkut diksi yang digunakan KPK. Dalam konferensi pers, muncul istilah “hanya satu matahari” dan “jatah preman”—dua ungkapan yang dramatis tetapi bukan terminologi hukum.

Menurut Bobson, penggunaan bahasa semacam itu berpotensi membangun opini publik, bukan menjelaskan unsur pidana. Pemerasan, dalam definisi hukum, mensyaratkan niat dan tindakan memaksa atau mengancam. Pertanyaannya: kapan dan bagaimana Gubernur Abdul Wahid memberikan perintah kepada stafnya untuk meminta uang kepada Kepala UPT?

KPK tidak menjawab pertanyaan itu. Tidak ada keterangan tentang percakapan, pertemuan, atau instruksi yang menjadi dasar mens rea tersangka utama. Yang ada justru diksi yang menimbulkan impresi karakter: tegas, keras, atau bahkan menyerupai premanisme birokrasi.

Ini tentu membawa pada sebuah pertanyaan, “Apakah opini dapat menggantikan bukti?” dimana penjelasan KPK, sejauh ini, belum memperlihatkan garis bukti yang meyakinkan.

Kejanggalan kedua muncul ketika KPK menyatakan bahwa dua pejabat yang ikut ditangkap—MAS dan DAN—adalah representasi dari AW. Apa yang mereka lakukan, menurut KPK, mencerminkan kehendak sang gubernur.

Secara moral, pernyataan ini mungkin dapat diterima. Tetapi dalam ranah hukum pidana, konsep representasi tidak memiliki tempat. Hukum pidana tidak mengenal perbuatan yang diwakilkan. Setiap orang harus memiliki peran yang jelas: pelaku, turut serta, pembantu, atau penyuruh.

Bobson mengingatkan: jika representasi dipaksakan, maka batasan tanggung jawab pidana menjadi kabur. Ini bukan hanya risiko bagi tersangka, tetapi juga risiko bagi sistem hukum itu sendiri. Institusi penegak hukum harus membangun perkara berdasarkan perbuatan yang dapat diverifikasi, bukan asumsi struktur hierarki birokrasi.

KPK menjelaskan bahwa pada Mei 2025 terjadi dua kali pertemuan antara Sekretaris Dinas PUPRPKPP dengan para Kepala UPT, menghasilkan “kesepakatan” persentase uang yang harus diberikan. Di sini Bobson memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin sebuah kesepakatan dapat menjadi dasar pemerasan?

Kesepakatan berarti kesediaan. Pemerasan berarti paksaan. Dua konsep ini, dalam definisi hukum maupun logika, tidak dapat hidup dalam satu kalimat. Jika benar terjadi kesepakatan, maka penyerahan uang dilakukan tanpa ancaman. Jika tanpa ancaman, unsur pemerasan melemah.

Namun narasi KPK tidak mencoba menjembatani dua konsep yang berseberangan ini. Dan di situlah publik dibiarkan mengisi kekosongan makna.

Kejanggalan paling serius menyangkut keberadaan uang yang disebut KPK diterima AW pada hari OTT. KPK menyatakan ada Rp450 juta yang dialirkan melalui MAS, dan Rp800 juta yang diberikan langsung kepada AW. Jika dua transaksi itu benar-benar terjadi pada hari yang sama, seharusnya uang itu ditemukan saat penangkapan. Namun, tidak satu rupiah pun ada pada diri AW.

Sebaliknya, KPK menemukan uang Rp750 juta di rumah AW di Jakarta Selatan—ratusan kilometer dari lokasi penangkapan di Riau. Pertanyaan pun muncul: bagaimana uang yang diklaim diserahkan di Riau bisa berada di rumah Jakarta dalam waktu singkat? Apakah uang itu memang uang yang sama? Dari siapa uang itu diamankan? Di ruangan mana? Dalam kondisi apa?

Publik masih menunggu jawaban. Ini bukan sekadar detail administratif. Ini menyentuh inti operasi tangkap tangan: OTT adalah tindakan yang secara inheren mensyaratkan kesegeraan antara perbuatan dan penangkapan. Jika unsur “tangkap tangan” menjadi kabur, legitimasi OTT itu sendiri dipertaruhkan.

Baca juga : Usai Kena OTT, Gubernur Riau Abdul Wahid Tiba di Gedung KPK

Ketika ditanya mengenai lambatnya pengumuman resmi—lebih dari 24 jam setelah OTT—Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebutnya sebagai “urusan teknis”. KUHAP memang memberikan waktu 1 × 24 jam untuk memeriksa para pihak yang ditangkap sebelum menetapkan tersangka.

Penjelasan ini benar secara normatif. Tetapi ia tidak menyentuh substansi kejanggalan yang disorot Bobson: narasi yang tidak utuh, logika yang tumpang tindih, serta penemuan uang yang tidak sinkron dengan kronologi.

Transparansi bukan sekadar mengikuti aturan waktu. Transparansi berarti menghadirkan alur cerita yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan dapat dipahami oleh publik.

Publik berhak mengetahui lebih dari apa yang telah disampaikan KPK. Bukan karena ingin membela pejabat, tetapi karena integritas proses hukum adalah milik seluruh warga negara. OTT yang bersih menuntut tentu memerlukan bukti yang jelas, narasi yang runtut, peran pelaku yang tidak kabur,dan penjelasan yang tidak memancing lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Dalam kasus Abdul Wahid, sejumlah pertanyaan masih menggantung. KPK tentu masih memiliki ruang untuk meluruskan. Namun, diam atau penjelasan parsial hanya akan memperlebar jurang kepercayaan.

Bobson mengatakan “Saya tidak mempersoalkan siapa yang benar atau salah. Saya hanya ingin memastikan bahwa lembaga penegak hukum tidak salah bercerita. Karena ketika cerita salah, keadilan pun bisa meleset.”

Editorial ini bukan tentang membela tersangka. Ini tentang membela kejelasan, prosedur, dan hak publik untuk mendapatkan kebenaran yang utuh. Sebab, ketika narasi institusi tidak lagi meyakinkan, yang dipertaruhkan bukan hanya satu kasus, tetapi kepercayaan terhadap sistem itu sendiri. (Lukman Hqeem)