Beritakota.id, Jakarta – Polemik dan tarik ulur terkait kenaikan cukai rokok akhirnya terjawab sudah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan tarif cukai rokok naik rata-rata tertimbang sebesar 12,5%. Kebijakan ini efektif mulai 1 Februari 2021 mendatang.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan besaran kenaikan cukai rokok atau industri hasil tembakau (IHT) ini mempertimbangkan berbagai aspek.Diantaranya adalah aspek pengendalian konsumsi, aspek tenaga kerja (industri), aspek petani penghasil tembakau, aspek peredaran rokok ilegal dan juga aspek penerimaan negara.
Melalui berbagai pertimbangan itu maka diharapkan semua pihak dapat memaklumi dan bisa menjalankan tarif cukai baru ini dengan baik. “Besaran tarif cukai tembakau yang berubah dan perlu dinaikkan di tahun 2021 dalam suasana Covid ini, kita pertimbangkan aspek kesehatan tapi juga pertimbangkan kondisi perekonomian secara umum yang terdampak Covid-19 terutama kelompok pekerja (industri) dan petani,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan pers secara virtual, Kamis (10/12/2020).
Secara rinci besaran kenaikan cukai untuk setiap jenis rokok yaitu sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9% (Rp 865 per batang). SKM golongan IIA cukainya naik 13,8% (Rp 535 per batang), SKM golongan IIB naik 15,4% (Rp 525 per batang).
Kemudian untuk rokok jenis sigaret putih mesin (SPM) golongan I cukainya naik 18,4% (Rp935 per batang), SPM golongan IIA naik 16,5% (Rp 565 per batang) dan SPM golongan IIB naik 18,1% (Rp 555 per batang). Sementara itu untuk rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) golongan IA, IB, II dan golongan III tidak mengalami kenaikan cukai.
Masing-masing cukai perbatang dari jenis ini secara berurutan adalah tetap yaitu Rp 425 per batang, Rp 330 per batang, Rp 200 per batang dan Rp 110 per batang. Seperti diketahui rokok jenis SKT merupakan produk yang dihasilkan dari industri yang menyerap banyak tenaga kerja atau padat karya.
Dengan kenaikan cukai rokok jenis SPM dan SKM tersebut maka nantinya harga rokok akan semakin mahal. Dengan begitu diharapkan kemampuan beli masyarakat terhadap produk itu khususnya yang usia 10-18 tahun menurun.
“Industri rokok yang sangat padat karya cukai hasil tembakaunya tidak dinaikkan atau kenaikannya nol persen. Dengan format kebijakan tersebut maka hasil yang diharapkan dari kebijakan ini adalah menurunnya prevalensi merokok khususnya pada usia 10-18 tahun menjadi 8,7% di tahun 2024,” pungkasnya