Beritakota.id, Bogor – Megamendung, Bogor telah lama dikenal sejak jaman kolonial sebagai kawasan wisata sejuk di jalur Puncak. Namun, di balik rindangnya pepohonan dan derasnya arus wisatawan, tersembunyi kisah panjang tentang transformasi wilayah ini dari arena konflik agraria menjadi destinasi ekowisata berkelanjutan.
M. Yogie Syahbandar, pakar Perencanaan Wilayah dan Kota dari Universitas Pakuan (Unpak), menilai Kabupaten Bogor memiliki potensi besar dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat.
“Bogor memiliki potensi wisata alam yang sangat beragam,mulai dari pegunungan, pertanian, gua, hingga hutan. Karakteristik pedesaannya yang kuat menjadikannya ideal untuk wisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal,” ujarnya. Namun, ia menambahkan bahwa pengembangan ekowisata tidak bisa dilakukan sembarangan. “Harus diperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, serta tata kelola kelembagaan dan infrastruktur. Termasuk promosi dan pembentukan kelompok ekowisata sebagai penggerak lokal,” jelasnya.
Camat Megamendung, Ridwan, menuturkan bahwa pesona wilayahnya bukanlah hasil rekayasa instan.
“Destinasi wisata di Kecamatan Megamendung bukan dibuat, tetapi terbentuk secara alami sejak dulu. Baru belakangan ini semakin ramai karena adanya langkah pemerintah dan masuknya investor,” ujarnya kepada awak media akhir pekan lalu. Sebagai putra daerah, Ia masih mengingat jelas situasi pasca-Reformasi 1998, saat terjadi penyerobotan lahan negara oleh berbagai pihak.
“Dampaknya ada dua. Pertama, penggundulan kebun teh dan hutan yang dikuasai PTPN. Kedua, muncul sengketa lahan, padahal tanah itu milik negara. Dua persoalan ini berlangsung cukup lama,” kenangnya.
Kondisi tersebut sempat membuat pemerintah daerah kewalahan, lahan negara rusak, konflik agraria tak kunjung usai, sementara perekonomian warga stagnan. Namun, dua dekade kemudian, wajah Megamendung mulai berubah.
“Sejak saya menjabat camat pada 2023, tidak ada lagi laporan persengketaan tanah. Ini dampak positif dari masuknya investasi,” jelas Ridwan.
Beberapa investor besar seperti Eiger Adventure Land (EAL) dan Gym Station Indonesia (GSI) mulai masuk dan memberikan empat dampak utama. Tanah negara yang sempat diserobot kembali ke negara. Bukan hanya itu, peran investor ini berkontribusi pada negara, bahkan mampu membuka lapangan pekerjaan dan pelestarian lingkungan dengan melakukan reboisasi di kawasan yang telah gundul.
“Yang paling penting, mereka peduli terhadap lingkungan. Contohnya, Sungai Cisuka di wilayah ini tidak pernah banjir meski ada pembangunan,” tambahnya.
Menurut Ridwan, pola investasi ini sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan hilirisasi dan penyerapan tenaga kerja.
Sebagai Ketua Korwil ASPI Jabodetabek, Yogie menilai bahwa keterlibatan korporasi seperti Eiger justru bisa mempercepat pengembangan ekowisata jika dilakukan dalam kerangka triple helix—sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan pengusaha.
“Korporasi bisa berperan dalam inkubasi, percepatan, maupun pelaksanaan program ekowisata. Yang penting, koridor sosial, ekonomi, dan lingkungan tetap dijaga,” tambahnya. Brand besar yang peduli terhadap lingkungan, menurutnya, bisa menjadi pengungkit pembangunan berkelanjutan.
Baca juga : Ekowisata Mentransformasi Pariwisata Berkelanjutan
“Biasanya, perusahaan seperti itu menjalankan usaha sejalan dengan prinsip konservasi. Tapi tetap harus diawasi agar tidak menyalahi tujuan pelestarian,” pungkas Yogie.
Sementara anggota DPRD Kabupaten Bogor Fahirmal Fahim menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara penataan kawasan dan kesejahteraan masyarakat.
“Kawasan Puncak bukan hanya destinasi wisata, tapi juga sumber penghidupan bagi ribuan warga. Karena itu, kami berharap pemerintah memberi ruang transisi dan pendampingan bagi para pelaku usaha yang sedang melengkapi izin atau menyesuaikan dengan ketentuan,” ujarnya. Ia menegaskan, DPRD akan terus mengawal agar kebijakan pembangunan tetap berpihak pada rakyat tanpa mengorbankan lingkungan. “Kami percaya, kebijakan yang baik adalah yang mampu melindungi alam sekaligus menyejahterakan masyarakat,” tegasnya.
Kini, Megamendung mulai dikenal bukan hanya sebagai tempat singgah menuju Puncak, tetapi sebagai kawasan ekowisata yang tumbuh dari kearifan lokal. Namun, geliat pembangunan juga menyisakan tantangan, termasuk gelombang PHK akibat penutupan sementara beberapa lokasi wisata.
Salah satunya dirasakan oleh Atang (70), warga Desa Sukagalih, yang sejak 2019 bekerja sebagai tukang taman di kawasan ekowisata EAL. Ia menjadi saksi hidup perubahan lahan tandus menjadi hijau kembali.
“Saya diajari cara menanam dan merawat tanaman yang cocok di sini. Kami diajarkan pentingnya menjaga alam. Pohon yang saya tanam tiga tahun lalu sekarang sudah besar. Tapi tempat kerja saya disegel, penghasilan saya terganggu,” ujarnya lirih.
Atang dan dua anaknya yang juga bekerja di EAL berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan penutupan dengan lebih bijaksana.
“Lihatlah dengan mata hati. Pembangunan ekowisata di kampung kami membawa kebahagiaan bagi banyak warga Megamendung,” tutupnya penuh harap. (Herman Effendi / Lukman Hqeem)