Beritakota.id, Jakarta – Film The Long Walk, digarap oleh Francis Lawrence, yang dikenal lewat seri The Hunger Games, dengan skenario oleh JT Mollner telah tayang di jaringan bioskop tanah air sejak Rabu (10/09/2025). Bergenre distopia, thriller, dan horor, film ini mengisahkan kompetisi berjalan yang mematikan di Amerika, di mana para peserta harus mempertahankan kecepatan minimal. Jika tidak, mereka dieksekusi. Hanya satu yang bertahan sebagai juara untuk mendapatkan hadiah. Dibintangi oleh Cooper Hoffman (Ray Garraty), David Jonsson (Peter McVries), Judy Greer, dan Mark Hamill sebagai sang Major yang menjadi tokoh otoriter pengawas kompetisi.
Cerita film ini mengikuti sudut pandang tokoh Ray Garraty. Bersama peserta lain sebanyak 50 pemuda yang berjalan tanpa berhenti di jalanan Amerika. Alur film menyoroti perjuangan fisik dan mental, dilema moral, serta terbentuknya ikatan khususnya antara Ray dan Peter yang menjadi pusat emosional film. Atmosfernya terjalin dari suasana pasca-1960an pedesaan dan berakar kuat ke nuansa perang dan kelam.
Sejatinya, film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Stephen King. Harus diakui bahwa skenario yang di buat tetap terasa “faithful” dengan cerita versi novel yang pertama kali dirilis pada tahun 1979, khususnya dalam tonasi brutal dan atmosfer kompetisi yang kejam. Pun demikian, ada tantangan saat pembuatan film ini di Maine. Kebutuhan akan latar belakang suasana jalanan pedesaan Amerika ke suasana negara jalanan pedesaan Amerika yang lebih universal, serta menurunkan jumlah peserta dari 100 menjadi 50 untuk kepraktisan narasi.
Adegan-adegan eksekusi digarap realistis dan eksplisit yang mencerminkan kesediaan menampilkan kekerasan sejati agar dampaknya terasa. Durasi pengambilan gambar dan syuting berjalan terasa jauh, dimana para aktor berjalan total ratusan mil, kadang 15 mil per hari, untuk menyuntik intensitas realismenya.
Secara umum, film adaptasi ini mampu mempertahankan tema dalam novel tersebut, yakni keputusasaan, tekanan sosial, dan eksistensi. Walaupun pendekatan visual dan naratif lebih ringkas, runtut, dan fokus dibanding narasi internal novel. Harus diakui bahwa intensitas, keautentikan, dan kekuatan emosional film ini yang tetap terjaga, menjadikan kelebihan.
Baca juga : Review Film Relay: Thriller Intens Bergaya Noir
Penampilan Cooper Hoffman dan David Jonsson dianggap kuat, emosional, dan mengundang empati, menjadi pusat ikatan batin film. Sutradara Lawrence membawa sentuhan visual yang tajam, meminimalisir klise dan efek berlebihan, menciptakan atmosfir mencekam dan realistis.
Sayangnya memang alur di akhir film justru terasa melambat atau bahkan boleh dikatakan telah kehilangan momentum. Karakter pendukung cenderung terasa seperti “sketsa longgar” dibanding tokoh penuh lapisan, sehingga kedalaman emosional dan motivasi mereka bisa terasa dangkal.
Pada akhirnya, The Long Walk seperti komentar mahasiswa daripada analisis tajam tentang situasi politis dan sosial yang terasa familiar tanpa sentuhan inovatif. Adaptasi yang berani dan kuat dari versi novel King yang gelap, menegangkan, dan menyentuh. Francis Lawrence dan JT Mollner disini berhasil menyajikan film yang menjaga esensi novel dengan kompetisi ekstrem sebagai refleksi sistem yang kejam serta memusatkan perhatian pada ikatan manusiawi dan ketahanan moral.
Film ini tidak ringan, penuh darah, keras, dan emosional—bukan tontonan untuk semua, tapi sangat memuaskan penggemar genre distopia serius dan karya King dengan nuansa psikologis mendalam. The Long Walk masuk kategori “wajib ditonton” jika Anda menyukai cerita dengan ketegangan ekstrem, konflik batin mendalam, dan sineas berani menampilkan realitas tanpa rem. Skor 7/10. (Lukman Hqeem)