Beritakota.id, Semarang – Aktivis perempuan dan pegiat hak asasi manusia, Nukila Evanty, menyampaikan orasi ilmiah pada puncak acara Dies Natalis ke-18 Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES), Kamis (27/11). Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Inisiasi Masyarakat Adat, Nukila menegaskan pentingnya pemenuhan hak perempuan atas tanah sebagai bagian dari kewajiban negara berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, yang menegaskan kewajiban negara untuk menghapus seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Nukila menjelaskan bahwa konvensi ini memiliki tiga prinsip utama: kesetaraan, non-diskriminasi, dan kewajiban negara. Ketiganya mewajibkan negara memastikan perempuan memiliki hak yang sama dalam kepemilikan, pengelolaan, dan penggunaan tanah.
Baca juga : DPC IWAPI Jakarta Timur Gelar Seminar Kesehatan Perempuan
“Masih banyak perempuan menghadapi hambatan norma patriarki, terutama terkait akses dan kepemilikan tanah,” ujar Nukila. Ia menambahkan bahwa sistem hukum yang belum sepenuhnya melindungi hak perempuan, terutama petani, nelayan, dan masyarakat adat membuat perempuan tetap berada dalam posisi subordinat.
Nukila menyinggung berbagai kasus di mana perempuan menjadi garda terdepan mempertahankan tanah mereka. Salah satunya adalah perjuangan para perempuan petani Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, yang sejak 2014 menolak pembangunan pabrik semen karena ancaman kerusakan lingkungan dan hilangnya sumber air.
“Kami tidak akan bisa hidup tanpa Ibu Bumi,” kata salah satu perempuan Kendeng yang dikutip Nukila. “Jika alam rusak, kami yang pertama merasakan dampaknya.”
Kisah serupa juga terjadi di Pulau Rempang, Batam, ketika perempuan setempat berusaha mempertahankan tanah leluhur mereka dari proyek PSN Eco-City. “Kami mempertahankan tanah untuk anak cucu,” ujar seorang perempuan tua dari Rempang.
Menurut Nukila, gerakan ini mencerminkan prinsip ekofeminisme—kesadaran bahwa penindasan terhadap perempuan dan kerusakan alam berakar pada keserakahan dan dominasi tanpa batas.
Nukila menegaskan bahwa bagi perempuan, tanah bukan sekadar tempat berpijak, tetapi sumber kehidupan, kehormatan, dan masa depan keluarga.
“Ketika perempuan memiliki hak atas tanah, keluarga menjadi lebih sejahtera, terpenuhi nutrisinya, dan anak-anak mendapatkan akses pendidikan lebih baik,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa masalah perempuan tidak berhenti di persoalan tanah. Mereka juga menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah rendah, akses kesehatan terbatas, hingga hambatan pendidikan.
Nukila mendesak pemerintah memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan, termasuk pengakuan perempuan sebagai subjek pemegang hak atas tanah ulayat serta pelibatan aktif mereka dalam setiap proses kebijakan.
“Perlindungan ini harus dilakukan secara spesifik dan sejajar dengan prinsip-prinsip konvensi,” tegasnya.
Di akhir orasinya, Nukila menutup dengan pesan kemanusiaan:
“Perempuan adalah penjaga peradaban. Menghargai perempuan adalah bagian dari menghargai Sang Pencipta.”
Orasi ilmiah Nukila Evanty ini menjadi pengingat bahwa perjuangan keadilan gender terutama dalam hak atas tanah masih panjang, namun suara perempuan terus mengakar kuat dari Kendeng hingga Rempang. (Herman Effendi / Lukman Hqeem)


