Opini  

Calon Kepala Daerah Mantan Napi, Kenapa Tidak?

Calon Kepala Daerah Mantan Narapidana, Kenapa Tidak ? - Jamal Aslan, Praktisi Hukum dan Mahasiswa Doctoral Universitas Hasanuddin.

Menyibak perjalanan konseptual terhadap formulasi bentuk local democration sepatutnya dimulai dengan menelusuri paradigma konstitusionalisme kita. Pasca perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan kepala daerah secara demokratis melekat sebagai bagian integratif dari konsep pemerintahan daerah berdasarkan prinsip otonomi, lex specialis dan titulus est lex rubrica est lex.

banner 336x280

Pemaknaan implicit  dari frasa demokratis tersebut haruslah dimaknai bersenyawa organis dengan perspektif democratiche rechstaat, yakni kedaulatan bertegak lurus pada karakter keraykatan yang dibangun diatas gugusan konstitusionalitas. Ekstraksi dari pandangan tersebut tercurahkan dalam kaidah “Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil”.

Melalui prinsip Langsung, prosesi electoral mendekatkan antara pemilik daulat dengan yang mewakili melalui prosesi tanpa sekat, memilih dengan berpegang pada ketukan hati “si pemangku” daulat. Umum mendeskripsi setiap warga negara dapat menyalurkan hak pilihnya selama syarat dan ketentuan terpenuhi. Bebas membawa makna independensi penyaluran hak pilih yang dijamin atas nama hukum dan kemanusiaan. Begitupun juga Rahasia, diartikan sebagai penjaminan kerahasiaan sekaligus keamanan hak memilih dan penyaluranya.

Dilain sisi, prinsip jujur menjaminkan integritas yang menyelimuti sekaligus membatasi penyelenggara agar teguh mengakomodir kontestasi pemilihan. Sedangkan Adil diartikan sebagai jaminan imparsialitas, tanpa diksrimimasi dan penyetaraan hak memilih dan dipilih.

Memahat makna kedaulatan rakyat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemilu dan pilkada tak ubahnya nadi yang mengalirkan hakikat demokrasi. UUD 1945 menjalin hak-hak warga negara dengan benang merah pemilu dan rajutan jarum pilkada, memastikan tiap individu demokrasi merasakan denyut hak politik yang adil.

Hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected) terukir megah dalam pasal-pasal konstitusi. Tersurat dalam Pasal 27 ayat (1), di mana setiap warga negara setara di hadapan hukum dan pemerintahan, tanpa pengecualian, dengan tanggung jawab menjunjung tinggi martabat hukum. Pasal 28D ayat (1) menegaskan bahwa setiap jiwa berhak atas pengakuan, perlindungan, dan jaminan hukum yang setara. Di sisi lain, hak untuk dipilih mencuat dalam Pasal 28D ayat (3), di mana tiap warga negara memiliki hak yang sama untuk meraih kesempatan dalam ranah pemerintahan.

Begitulah, pemilu/kada bukan sekadar mekanisme, tapi sebuah jembatan yang memampukan suara rakyat mengalun dalam harmoni kenegaraan, memberi ruang bagi setiap insan untuk menjadi bagian dari cerita besar bangsa. Olehnya pemilu/kada tidak sekedar rentetan episode suksesi kuasa. Lebih dalam dari itu, ada upaya untuk mengartikulasikan jaminan hak asasi manusia untuk menempatkan dirinya dalam sirkum tumbuh-kembang demokrasi yang berke-adab-an.

Episode pendewasaan demokrasi berjalan bergandengan bersama hukum. Demikianlah design ketatanegaraan yang disematkan sebagai penjaga demokrasi. Masih terekam hangat dalam dekapan ingatan public, pelbagai putusan peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi yang memberikan efek sistemik terhadap pasang-surut mekanisme electoral kita. Sebut saja putusan MK no 60 yang membuka peluang Pilkada lebih fleksibel dan partisipatif serta penegasan batasan usia Cakada.

Dilain sisi, Putusan MK yang berkaitan dengan hak dipilih warga negara yang berstatus mantan terpidana juga mengalami biduk perjalanan yang cukup Panjang. Hiruk pikuk kontroversi perihal calon dengan latar belakang “mantan terpidana” dianggap mengangkangi keluhuran  prosesi demokrasi.

Segelintir berpekik bahwa status mantan terpidana ibarat corak warna yang kontras pada lukisan demokrasi. Bukankah pemilu/kada ialah mekanisme politik untuk menjaring tokoh yang ideal mengemban Daulat rakyat?

Namun, akankah adil untuk mengokohkan premis negative pada personal yang telah menjalani masa pidananya, terlebih setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan atas dasar kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Hak yang setara untuk memperjuangkan kepentingan kolektifnya melalui berserikat, berkumpul, dipilih dan memilih?

Ulasan ini akan menyibak sekat paradigmatic untuk perihal seperti apa sesungguhnya justifikasi public memaknai Calon Kepala Daerah (Cakada) yang berlatar belakang sebagai mantan terpidana. Sudut pandang ini terlampau penting mengingat demokrasi tanpa kesadaran public ibarat daun tanpa pohon yang dengan mudah diterbangkan angin yang menerpa taman demokrasi.

Putusan MK terhadap Calon “Mantan Narapidana”

Terhitung tidak sedikit putusan Mahkamah Konstitusi (MK )mengitari isu ini. Dari sejumlah pergumulan putsan MK tersebut, entry point menyangkut Cakada mantan narapidana bersinggungan dan termaktub pada pasal 7 ayat 2 huruf (g) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (sebuh saja UU Pilkada). Setidaknya, terdapat 5 Putusan MK yang mengelaborasi Cakada dengan status mantan narapidana yakni Putusan MK nomor 17/PUU-V/2007 (putusan menolak), Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 (menyatakan pasal pelarangan mantan narapidana korupsi ikut Pilkada inkonstitusional selama menyertakan syarat tertentu), Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 (penyederhanaan syarat dari semula 4 menjadi hanya 1 syarat), Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016 (melonggarkan syarat mantan terpidana karena tindak pidana kealpaan dan tindak pidana karena pelakunya mempunyai pandangan berbeda dengan rezim berkuasa, tak termasuk kategori mantan terpidana yang tak bisa ikut pilkada), dan yang teranyar ialah Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019.

Menyelami dialektika putusan MK tersebut, sejatinya arus pemikiran yang mendasari ratio decidendi mahkamah dapat disegmentasi dalam dua isu sentral dan strategis dalam neraca konstitusionalitas. Kepentingan dekomrasi konstitusional yang diselamatkan tersebut yakni  kepentingan orang perseorangan warga negara yang hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam suatu jabatan public (Elected public officer) yang merupakan senyawa jaminan konstitusi serta kepentingan masyarakat untuk melahirkan pemimpin berintegritas yang diidealkan dapat menggarasikan terwujudnya hak konstitusional atas optimalisasi pelayanan public yang baik dan berorientasi pada kesejahteraan sebagai cita demokrasi dan wujud perlindungan konstitusional.

Oleh karena itu, pada Putusan MK Nomor 56/ PUU-XVII/2019 MK mengkonkretkan syarat agar mantan narapidana dapat ikut nyalon kepala daerah yang diantaranya,(1) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (2) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (3) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang ulang.

Seakan mengambil jalan tengah, Putusan MK tersebut menjahit disparitas perdebatan perihal sosok ideal pemimpin daerah yang diidamkan dalam kaidah demokrasi yang bermoral. Dijiwai dengan kuat bahwa untuk menjadi seorang pemimpin daerah, syarat-syarat yang ketat ditetapkan karena seorang calon pemimpin tidak hanya harus mapan intelektual, namun juga kokoh menegakan integritas, spiritualitas dan kejujuran.

Mereka diharapkan mengemban tanggung jawab yang tak tergoyahkan, serta berkepekaan yang tinggi. Semua kualitas ini berpadu untuk membentuk pemimpin yang bukan hanya cakap dalam urusan pemerintahan, namun juga luhur dan responsif terhadap panggilan Daulat rakyat. Sebab, hakikat kepemimpinan bukan hanya soal jabatan, melainkan panggilan untuk melayani dengan rasa hormat dan pengabdian.

Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Setali dengan pertimbangan tersebut, masa tunggu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dimaksudkan untuk sebagai masa introspeksi pada mantan narapidana tersebut guna merenungkan kompetensinya sebagai individu manusia, sekaligus menyusun kembali puzzle integritas yang telah berserakan karena perilaku pidana, termasuk tindak koruptif.

Disisi lain, syarat secara “jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana” bermaksud untuk membuka peluang kejujuran dan membentuk kembali tingkat penerimaan public terhadap personal Cakada mantan narapidana setelah kembali ke Masyarakat.

Memang sulit atau bahkan dianggap pelik. Namun, jika public memahami mengenai paradigma pemidanaan dalam konteks hukum pidana, fenomena tersebut mungkin saja dapat dipahami dalam perspektif yang berbeda dan lebih konstruktif.

Antara Konsep Pemidanaan, Hak Narapidana dan Presepsi Demokrasi

Lantas, seperti apakah memandang sesorang yang telah menjalani hukuman pidananya. Apakah stigma negative selamanya meyertai atau seperti apakah hukum menghendaki?

Meskipun jawaban pertanyaan ini tidak secara tersurat dan konkret dimuat dalam Putusan MK, namun secara sistematis perspektif ini dapat pula digunakan sebagai mikroskop untuk menerawang Cakada yang berlatar belakang sebagai mantan narapidana. Sebelum membuka kotak pandora konteks konseptual perihal pemidanaan, terlebih dulu mestilah dipahami apa yang menjadi tujuan pemberlakuan pemidanaan terhadap subjek hukum.

Jika menggunakan instrument doctrinal, tujuan pemidanaan dapat dicacah dalam 5 varian, pertama, rehabilitasi yang memproyeksi pemidanaan sebagai sarana memperbaiki dan memulihkan pelaku kejahatan dengan tujuan agar dapat tereposisi dengan fungsi baik ketika kembali bermasyarakat. Kedua, deterrence, aliran yang dikenal melalui Cesare Beccaria ini berfokus pada adanya efek jera baik kepada pelaku maupun Masyarakat umum. Ketiga, tujuan retribusi yang condong pada balas dendam. Tokoh seperti Imanuel Kant memahami bahwa tujuan pemidanaan ialah untuk memberikan hukuman yang setimpal berdasarkan prinsip keadilan kepada pelaku kejahatan. Keempat, restorative justice, atau aliran yang menganggap pemidanaan upaya untuk memulihkan hubungan pelaku, korban dan Masyarakat. Aliran yang dianut oleh Howard Zehr ini menempatkan dialog dan mediasi sebagai irisan segmentasi pemidanaan. Kelima, pemidanaan dengan tujuan pencegahan sosial, menurut Edwin Sutherland, mengubah kondisi sosial yang mendasari pelaku kejahatan untuk mengurangi intensitas kejahatanta merujakan tujuan pemidanaan.

Namun, secara familiar dan dalam konteks yang lebih umum, teori tujuan pemidanaan disegmentasi pada 3 jenis, yakni teori absolut, relative dan gabungan. Karakteristik utama dari vergeldings theorien,nomenklatur yang dilekatkan pada teori absolut mengilustrasikan tujuan pemidanaan sebagai media “pembalasan”. Hugo Grotius yang menyatakan bahwa malum passionis (quod inglitur) propter malum actionis, artinya penderitaan jahat menimpa disebabkan oleh perbuatan jahat. Pemidanaan merupakan bayangan atas kejahatan yang dicipta sehingga kejahatan mesti dibalas dan medianya ialah pemidanaan.

Dilain pihak, teori relative memandang lain. Karl O. Christiansen menjelaskan bahwa teori relatif melihat pidana bukan sekadar alat balas dendam terhadap pelaku kejahatan, melainkan sebagai sarana dengan tujuan-tujuan mulia yang membawa manfaat bagi masyarakat dan masa depan. Perspektif yang digunakan ialah proyektf utilitarianis atau berbasis pada manfaat pemidanaan kepada Masyarakat secara simultan. Pokok pikiran dari teori ini ialah menjadikan perbaikan kepada pelaku kejahatan sebagai focus pemidanaan.

Pada proposisi teori ini, tujuan pemidanaan tidak sekedar balas-membalas, melainkan ada upaya korektif terhadap kejahatan, dampak dan pelakunya.  Sedangkan teori gabungan mempertemukan kedua tujuan pemidanaan sebelumnya. Secara retributive berorientasi pada penghukuman pelaku, disisi lain juga menekankan upaya memperbaiki perilaku si pelaku.

Menyelami sikap MK terhadap Cakada mantan narapidana, nampaknya berkesusian dengan beberapa tujuan pemidanaan. Seseorang yang telah menjalani masa pidananya bukan berarti mewarisi secara terus-menerus perbuatan pidananya. Penjatuhan pidana serta pemenuhanya oleh pelaku tindak pidana mesti dipandang sebagai upaya korektif atau rehabilitasi.

Mengutip pandangan Thomas Aquinas sebagaimana dijelaskan Eddy O.S. Hiariej, diantara tujuan pemidanaan ialah pemisahan antara antara hukuman sebagai sekadar hukuman dan hukuman yang berfungsi sebagai pengobatan. Aquinas berpendapat bahwa ketika negara menjatuhkan hukuman dengan sifat terapeutik, penting untuk menerapkan pencegahan umum dan khusus. Menurutnya, pencegahan khusus bertujuan untuk memperbaiki narapidana, sehingga saat kembali ke masyarakat, mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Sementara itu, pencegahan umum dirancang untuk menghentikan orang lain agar tidak terjerumus ke dalam kejahatan.

Dengan demikian, seyogyanya setiap pelaku tindak pidana yang selesai menjalani hukuman haruslah dianggap telah menuntaskan kewajiban hukumnya yang termuat pula upaya untuk memperbaiki integritasnya menjadi pribadi yang menyadari dan tidak akan mengulangi kejahatanya kembali. Olehnya, dengan mengakui hak dipilih sebagai entitas hak konstitusional, maka sungguhlah tidak kontekstual jika status narapidana mendistorsi kelayakan seseorang untuk mengikut-sertakan dirinya dalam konteks electoral.

Atas dasar hukum, mantan terpidana telah menjalani penghukuman dan karenanya dengan paradigma pemidanaan sebagai obat, maka hak mantan narapidana mestinya diposisikan secara proporsional sebagai bentuk kesadaran hukum public. Memang benar, pemilu maupun pilkada bukan tempat untuk memilih manusia berjiwa malaikat sebab tidak ada manusia yang seutuhnya benar sepanjang hayat.

Hal ini berkesesuaian dengan pandangan Frans Magnis Suseno bahwa Pemilu atau pilkada bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang buruk berkuasa. Pilkada yang adil ialah pilkada yang tidak men-stigma negative secara berkepanjangan, tetapi bagaimana mengakui hak hukum seseorang. Membuka peluang electoral sebagai konsistensi pemenuhan hak konstitusonal sekaligus membangun dialektika berkemanusiaan sebagaimana prinsip demokrasi yang sehat.

Ditulis oleh : Jamal Aslan (Praktisi Hukum dan Mahasiswa Doktoral di Universitas Hasanuddin)
Reporter : Herman Effendi
Editor : Lukman Hqeem

 

banner 728x90
Exit mobile version