Beritakota.id, Jakarta – Pasca Pemilu 2024, Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai menerapkan strategi politik yang tidak biasa di panggung demokrasi Indonesia. Bukan dengan sorak kemenangan atau gempuran pernyataan di media, Prabowo memilih bergerak dalam diam, namun langkahnya dinilai mengguncang struktur kekuasaan nasional.
Pengamat Hukum dan Politik, Rikardus Moan Baga, menilai pola ini menyerupai strategi militer shaping the battlefield, yaitu membentuk kondisi “medan perang” sebelum pertempuran utama dimulai. “Prabowo menerapkan operasi setingkat militer dalam ranah politik; senyap, presisi, dan memenangkan pertarungan tanpa konfrontasi langsung,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima media, Senin (11/8/25).
Menurut Rikardus, mantan Danjen Kopassus itu memanfaatkan “dominasi senyap” untuk mengunci elite partai, merombak barisan kekuasaan, hingga menempatkan TNI-Polri dalam posisi netral-loyalis. Semua dilakukan tanpa benturan terbuka dengan pemimpin lama, yang kini dirangkul sebagai patron, namun secara sistematis pengaruhnya dilemahkan dari dalam.
Strategi ini juga memanfaatkan controlled surprise atau efek kejut terukur, seperti membuka koalisi baru secara mendadak, mengumumkan langkah penting tanpa sinyal, dan menggeser arah kebijakan publik dengan dampak psikologis besar. “Tujuannya menciptakan ketidakpastian sehingga lawan sulit membaca langkah berikutnya,” kata Rikardus.
Prabowo, tambahnya, menghindari serangan frontal dan memilih teknik political decoupling—memisahkan pengaruh figur dari sistem tanpa menyerang pribadinya. Ia menerima simbol lama, namun membentuk blok kekuasaan mandiri melalui teknokrat, elite lintas poros, dan “kabinet bayangan” yang siap menjalankan agenda baru.
Pola ini disebut sebagai bentuk soft revolution: kekuasaan tidak direbut secara keras, melainkan dikondisikan; oposisi tidak dimusnahkan, tetapi dinetralkan; narasi publik dibentuk melalui pesan simbolik dan moderat, bukan propaganda kasar.
“Prabowo mengeringkan sumber daya oposisi, bukan menyerangnya langsung. Ini strategi pasca-konflik yang sistemik dan mendalam, menggeser peta pengaruh nasional dari simbol lama ke kendali baru,” tutup Rikardus.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan