Beritakota.id, Jakarta – Industri perfilman nasional akan segera kedatangan karya baru yang sarat makna, “Seribu Bayang Purnama”. Film produksi Baraka Films ini dijadwalkan tayang serentak di seluruh jaringan bioskop Indonesia mulai 3 Juli 2025, menawarkan sudut pandang unik mengenai kehidupan petani di Indonesia yang jarang terangkat ke permukaan. Disutradarai oleh Yahdi Jamhur, yang dikenal sebagai jurnalis dan pembuat film dokumenter, “Seribu Bayang Purnama” berlatar pedesaan Bantul, Sleman, dan Yogyakarta. Keaslian kehidupan petani dengan segala suka dukanya coba dihadirkan secara otentik, memotret realitas sosial yang kerap luput dari perhatian masyarakat perkotaan.
Dalam Screening “Seribu Bayang Purnama” di Metropole XXI, Jakarta, Kamis (26/6/2025). Yahdi Jamhur mengungkapkan motivasinya. “Petani sering luput dari sorotan perfilman kita. Padahal merekalah tulang punggung negeri agraris seperti Indonesia. Lewat film ini, kami ingin menunjukkan bahwa pertanian bukan hanya soal bercocok tanam, tapi juga tentang martabat dan keberlanjutan hidup,” ucapnya.
Film ini mengikuti perjalanan Putro Hari Purnomo (Marthino Lio), seorang pemuda yang kembali ke desanya setelah impiannya di kota kandas. Dengan tekad membara, Putro berambisi merevitalisasi tanah warisan keluarganya menggunakan metode pertanian alami, sesuai ajaran sang ayah, Budi (Nugie).
Baca juga: Review Film NOISE; Kebisingan Yang Mengancam
Namun, jalan Putro tak semulus yang dibayangkan. Ia harus menghadapi tantangan sengit dari keluarga rival yang menantangnya dalam kompetisi pertanian bergengsi, sebuah pertarungan yang akan menentukan pengaruh di masyarakat desa. Konflik semakin meruncing ketika Putro jatuh hati pada Ratih (Givina Lukita Dewi), putri dari keluarga pesaing sekaligus pemilik toko pupuk kimia. Dilema antara idealisme, cinta, dan tekanan sosial menjadi inti konflik emosional yang memikat dalam film ini.
“Seribu Bayang Purnama” tidak sekadar menyajikan drama dan romansa, tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial terhadap sistem pertanian yang timpang di Indonesia. Film ini secara gamblang menggambarkan bagaimana petani seringkali terjebak dalam lingkaran kemiskinan akibat mahalnya pupuk, ketergantungan pada tengkulak, dan minimnya akses modal.
“Melalui film ini, kami mencoba mengangkat cerita kehidupan petani dengan segala suka dukanya, sehingga petani ini bisa terangkat derajatnya,” tambah Yahdi Jamhur, menegaskan misi sosial dari karyanya.
Swastika Nohara, penulis skenario yang telah dua kali meraih Piala Maya, berhasil memberikan sentuhan emosional mendalam yang memperkuat pesan sosial film. Visual pedesaan yang indah dipadu dengan penokohan yang kuat, termasuk penampilan Aksara Dena sebagai Dodit, Whani Darmawan sebagai Gatot, serta Joanna Dyah dan Hargi Sundari, turut memperkaya daya tarik sinematik film ini.
Baca juga : Bupati Paramitha Serahkan Bantuan Alsintan dan Benih, Dukung Petani Milenial Wujudkan Ketahanan Pangan
“Film ini bagi saya sangat personal karena lahir dari based on story masa kecil saya yang tumbuh besar di keluarga petani. Semua pemeran atau karakter yang ada itulah hasil dari riset saya bersama ibu di desa tempat saya tinggal dulu,” ungkap Swastika, memberikan gambaran betapa dekatnya cerita ini dengan kehidupan nyata.
Sebagai komitmen terhadap misinya, Baraka Films juga menegaskan bahwa seluruh keuntungan dari penjualan tiket “Seribu Bayang Purnama” akan didonasikan untuk pemberdayaan petani.
“Kami ingin film ini menjadi inspirasi, bukan hanya kisah keluarga, tapi juga potret masalah dan tantangan yang dihadapi petani Indonesia,” pungkas Yahdi Jamhur.
Dengan tema yang relevan dan pesan sosial yang kuat, “Seribu Bayang Purnama” diharapkan tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk lebih peduli dan menghargai dunia pertanian, tulang punggung bangsa. (Herman Effendi)