Beritakota.id, Jakarta – Vice Chairman Asia Pasifik Wood Mackenzie, Joshua Ngu, menilai Indonesia perlu mempercepat investasi dan pengembangan proyek gas untuk menghindari potensi defisit pasokan yang diperkirakan terjadi pada 2033. Meskipun proyeksi defisit tersebut masih cukup jauh, ia menegaskan bahwa langkah-langkah konkret harus segera dilakukan agar produksi domestik tidak terus menurun.

“Memang 2033 masih cukup lama, tetapi tanpa investasi baru di sektor minyak dan gas, produksi yang ada akan terus turun dan Indonesia berisiko mengalami defisit pasokan,” ujar Joshua Ngu kepada Bisnis Indonesia, di sela forum energi Abu Dhabi International Petroleum Exhibition and Conference (ADIPEC) 2025, Rabu (5/11).

Menurut analisis Wood Mackenzie, Indonesia memiliki lebih dari 35 triliun kaki kubik (TCF) sumber daya gas yang belum dikembangkan. Namun, percepatan monetisasi sumber daya tersebut kerap terhambat oleh sejumlah faktor, mulai dari rigiditas fiskal, perizinan yang lambat, hingga ketidakpastian kebijakan jangka panjang.

“Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam memperbaiki syarat fiskal beberapa tahun terakhir,” ujarnya. “Namun perlu ada fleksibilitas agar setiap jenis aset dan proyek memiliki skema fiskal yang sesuai. Dukungan tambahan sangat dibutuhkan bagi proyek yang sudah ditemukan tetapi belum berkembang agar bisa segera mencapai tahap produksi pertama.”

Baca juga : Warga Sinama Nenek Menuntut Keadilan, Pemerintah Didorong Bertindak Tegas

Perlu Kepastian Kebijakan dan Percepatan Perizinan

Joshua menekankan bahwa daya tarik investasi tidak hanya ditentukan oleh insentif fiskal, tetapi juga konsistensi regulasi dan kecepatan proses perizinan.

“Perizinan yang cepat penting agar proyek tidak kehilangan momentum,” jelasnya. “Investor membutuhkan kepastian, bukan hanya soal pajak atau bagi hasil, tetapi juga kepastian arah kebijakan—misalnya apakah ekspor gas masih akan didukung, dan bagaimana pemerintah memprioritaskan kebutuhan domestik.”

Menurutnya, pemerintah Indonesia telah menyampaikan banyak sinyal positif soal percepatan proyek-proyek migas. “Sekarang yang dibutuhkan adalah implementasi nyata di lapangan, agar pesan positif itu berubah menjadi kebijakan konkret,” katanya.

Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Domestik dan Ekspor LNG

Di tengah menurunnya pasokan domestik akibat lapangan tua yang menipis, Joshua menilai Indonesia perlu menemukan keseimbangan baru antara pemenuhan kebutuhan gas nasional dan komitmen ekspor LNG.

“Indonesia pernah menjadi eksportir LNG terbesar di dunia dua dekade lalu. Kini permintaan domestik meningkat pesat, dan itu wajar,” katanya. “Namun ini bukan pilihan antara ekspor atau domestik. Indonesia perlu menaikkan produksi agar bisa memenuhi dua-duanya sekaligus.”

Ia menyarankan agar pemerintah menerapkan pendekatan terkoordinasi dalam merencanakan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor.

Peran Teknologi CCUS dalam Transisi Energi

Joshua juga menyoroti peran penting teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) dalam mendukung produksi gas yang berkelanjutan.

“CCUS memungkinkan pengembangan lapangan dengan kandungan CO₂ tinggi yang sebelumnya tidak ekonomis karena alasan lingkungan,” ujarnya. “Selain membuka sumber daya baru, CCUS juga menciptakan ekonomi baru lintas batas, di mana emisi dari negara lain bisa disimpan di reservoir Indonesia.”

Ia menilai inisiatif ini dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam ekonomi karbon global dan mempercepat target net zero emissions.

Gas Masih Diperlukan untuk Dukung Energi Terbarukan

Menanggapi pergeseran global menuju energi terbarukan, Joshua menegaskan bahwa gas tetap akan memainkan peran penting dalam sistem energi masa depan.

“Gas adalah energi pendukung (firming power) yang menjaga kestabilan pasokan ketika matahari tidak bersinar atau angin tidak berhembus,” katanya. “Investasi di energi terbarukan tidak akan optimal tanpa kapasitas gas yang andal.”

Pelajaran dari Negara Lain

Joshua menutup dengan menyoroti pentingnya fleksibilitas kebijakan dan stabilitas hukum untuk menjaga daya saing Indonesia di mata investor global.

“Modal internasional sangat terbatas dan sangat mobile. Ia bisa mengalir ke Indonesia, atau ke negara lain,” ujarnya. “Yang menentukan adalah seberapa kompetitif fiskal kita, seberapa mudah berbisnis di sini, dan seberapa stabil regulasinya.”

Ia menegaskan, Indonesia memiliki potensi besar untuk tetap menjadi pemain utama di sektor gas, asalkan mampu menciptakan iklim investasi yang menarik dan konsisten. (Herman Effendi / Lukman Hqeem)