Beritakota.id, Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think tank terkemuka yang berfokus pada isu energi, kelistrikan, dan perubahan iklim, mengimbau pemerintah Indonesia untuk mempercepat reformasi kebijakan ketenagalistrikan dan mengimplementasikan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) guna mendorong transisi energi bersih di tanah air. IESR memandang bahwa sektor pasar modal dapat menjadi sumber pendanaan yang potensial bagi perusahaan-perusahaan energi terbarukan yang ingin menarik investasi dalam mengembangkan infrastruktur energi ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia telah dimulai dari sumber tenaga air (hidro) dan panas bumi (geotermal). Kedua jenis pembangkit ini memerlukan investasi besar, yang pada awalnya banyak didanai oleh investor asing. Kini, sumber energi terbarukan lain seperti biogas, biomassa, surya, dan tenaga angin juga mulai berkembang dan menarik minat investasi yang signifikan. Fabby menekankan bahwa pasar energi terbarukan di Indonesia kini semakin beragam, mulai dari skala kecil seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro, hingga proyek-proyek besar seperti PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) dan PLTA (pembangkit listrik tenaga air).
“Skala investasi di sektor energi terbarukan cukup beragam, baik dari sisi modal, pendanaan, maupun jenis dan skala pembangkitnya. Saat ini, sejumlah perusahaan dalam negeri juga aktif sebagai pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dalam menyediakan pasokan energi bersih,” ujar Fabby, Jumat (8/11/2024).
IESR dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) telah mengajukan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah untuk mempercepat transisi energi yang adil di Indonesia, salah satunya dengan pendanaan JETP. Dalam rekomendasi ini, pasar modal dinilai bisa menjadi solusi bagi perusahaan energi terbarukan melalui mekanisme penawaran saham umum perdana (IPO). Meskipun demikian, Fabby menambahkan bahwa untuk dapat masuk ke pasar modal, perusahaan energi terbarukan harus memiliki kinerja operasional dan keuangan yang kuat, serta memenuhi persyaratan tertentu agar dapat menarik minat investor.
“Perusahaan yang akan melantai di bursa sebaiknya memiliki portofolio proyek yang jelas, rekam jejak operasional yang baik, dan prospek bisnis yang menjanjikan. Investor tentu akan menilai track record perusahaan, return on investment (IRR), serta adanya kontrak jangka panjang untuk menjamin stabilitas pendapatan,” jelas Fabby.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa perusahaan energi terbarukan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan kinerja positif, di antaranya PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). Sejak IPO, harga saham perusahaan-perusahaan ini telah mengalami kenaikan yang signifikan. Misalnya, saham ARKO mengalami lonjakan harga sebesar 244,64% sejak IPO pada Juli 2022 hingga akhir September 2024. Emiten-emiten ini juga mencatat pertumbuhan laba bersih yang stabil pada kuartal ketiga 2024, mencerminkan bahwa pendanaan dari pasar modal berhasil meningkatkan kinerja mereka.
Menurut Ernst and Young (EY) Indonesia, minat investor terhadap emiten energi terbarukan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan tingginya kesadaran pasar terhadap keberlanjutan lingkungan dan keuntungan jangka panjang. “Kinerja finansial yang kuat dan tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan minat investor,” kata EY Indonesia dalam laporannya.
Fabby menilai bahwa untuk menarik minat investor, perusahaan energi terbarukan yang akan melantai di bursa harus memiliki tata kelola perusahaan (GCG) yang baik, laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan publik terpercaya, serta manajemen yang solid. Langkah-langkah ini akan membantu perusahaan membangun kepercayaan investor.
Fabby juga menyarankan agar investor mempertimbangkan beberapa faktor sebelum berinvestasi pada IPO perusahaan energi terbarukan. Pertama, melihat lingkungan pendukung (enabling environment) yang mendukung perkembangan energi terbarukan di Indonesia, termasuk kebijakan pemerintah, regulasi, dan stabilitas ekonomi makro. Indonesia sendiri telah menargetkan net zero emissions pada tahun 2060, dengan bauran energi bersih sebesar 23% pada tahun 2025 dan 40% pada tahun 2030. Komitmen pemerintah, yang diungkapkan Presiden Prabowo dalam pidato perdananya, serta target PLN dalam RUPTL 2025-2035 yang menempatkan kontribusi energi terbarukan minimal 60%, menunjukkan adanya potensi yang besar untuk industri ini.
Kedua, investor harus memeriksa kondisi perusahaan secara menyeluruh. “Investor perlu melihat proyeksi pengembangan bisnis perusahaan, keunikan kompetitif, kredibilitas, serta kemitraan dan strategi bisnisnya untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan,” jelas Fabby. “Perusahaan energi terbarukan yang memiliki prospek jangka panjang akan lebih menarik bagi investor yang ingin mengambil peran dalam transisi energi Indonesia.”
Dengan pertumbuhan energi terbarukan yang signifikan di Indonesia dan komitmen pemerintah terhadap transisi energi bersih, IPO perusahaan energi terbarukan tidak hanya memberikan peluang investasi yang menarik, namun juga menjadi bagian dari solusi untuk membiayai masa depan yang lebih ramah lingkungan di Indonesia. (Herman Effendi)