Beritakota.id, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mengoptimalkan industri yang dalam proses produksinya memprioritaskan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Langkah ini diharapkan mampu menyeimbangkan antara pembangunan industri dengan pelestarian lingkungan, serta memberikan manfaat lebih bagi masyarakat.
“Kami menempatkan konsep 4R yakni reduce, reuse, recycle, recovery dalam aktivitas industri. Unsur recycle merupakan prioritas, baik di tahap pengolahan bahan baku, produksi, maupun setelah produksi. Jadi seluruh aspek sektor industri bisa terlibat dalam penerapan industri hijau,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam, Rabu (13/1).
Dirjen IKFT menyampaian, guna mewujudkan penerapan prinsip industri hijau di sektor manufaktur, pemerintah berupaya mengubah konsep ekonomi linier menjadi ekonomi sirkural. “Melalui ekonomi sirkular, industri diharapkan mampu memanfaatkan sebesar-besarnya bahan daur ulang yang diperbolehkan, sehingga dapat mengurangi waste,” paparnya.
Penerapan ekonomi sirkular dapat memberikan banyak keuntungan bagi sektor industri, seperti efisiensi bahan baku, peningkatan produksi barang yang dapat didaur ulang, pencegahan illegal dumping dan emisi, serta tentunya penciptaan lapangan kerja baru,” ujar Khayam.
Khayam memaparkan, dalam menjalankan konsep sirkular ekonomi, Kemenperin menetapkan sektor yang menjadi prioritas penerapan, antara lain industri plastik, industri skrap karet, industri pelumas, serta industri coal tar dan tekstil.
Industri plastik nasional memiliki peran penting sekaligus berkaitan erat dengan industri lain, seperti industri makanan dan minuman, kosmetik, farmasi, elektronika, pertanian, otomotif, serta barang-barang rumah tangga. “Industri plastik di Indonesia menjadi rantai pasok produksi bagi sektor strategis lainnya,” imbuhnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.600 industri plastik hilir di dalam negeri. Namun, selama ini kebutuhan sektor tersebut masih didominasi bahan baku virgin impor dengan jumlah 3,8 juta ton pada 2019 untuk memenuhi kebutuhan. Pada periode tersebut, bahan baku lokal yang tersedia sebanyak 2,5 juta ton.
Dengan diterapkannya prinsip ekonomi sirkular, diharapkan impor bahan baku dapat berkurang, termasuk produk daur ulang impor. “Jadi, kami terus mendorong dan mengoptimalkan ketersediaan bahan recycle lokal untuk industri plastik, karena potensi daur ulang semakin besar,” terangnya.
Dengan optimalisasi industri daur ulang, lapangan pekerjaan di bidang ini diproyeksi akan terus meningkat. “Dari data kami, saat ini sudah ada 3 juta waste bank atau pemulung, 160 ribu pengepul dan penggiling, sekitar 100 tenaga kerja di supplier besar, serta 60 ribu tenaga kerja yang bekerja pada industri daur ulang plastik,” sebutnya.
Sementara itu, industri skrap karet berperan penting bagi industri ban. Saat ini, terdapat lima industri daur ulang skrap dalam negeri yang melakukan rubber recycling dengan kapasitas sebesar 10-15 ribu ton per tahun.
Adapun di industri pelumas, terdapat 44 perusahaan yang dengan nilai investasi sekitar Rp40 triliun. Produk sektor ini dimanfaatkan oleh sektor otomotif, mesin-mesin pabrik industri, kapal dan kereta api. Saat ini terdapat dua perusahaan yakni, PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (PT WGI) dan PT ALP Petro Industri yang melakukan pengolahan pelumas bekas dengan menggunakan teknologi tinggi refinery and lube oil blending plant. “Sekitar 65% oli bekas masih dapat dimanfaatkan kembali,” tutur Dirjen IKFT.
Lalu, coal tar yang merupakan residu dari industri batu bara bisa dimanfaatkan dalam industri carbon black oil (CBO). CBO sendiri merupakan bahan baku ban. Penggunaan coal tar dapat menggantikan decant oil dengan harga sepertiga dari harga bahan baku semula. “Selain itu, coal tar bisa dimanfaatkan juga untuk naphthalene, wash oil, serta aromatic hydrocarbon,” jelas Khayam.
Produksi coal tar juga semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan tumbuhnya industri peleburan besi dan baja. “Saat ini terdapat empat industri yang menghasilkan coal tar,” imbuhnya.
Terakhir, industri tekstil juga didorong untuk memanfaatkan limbah secara optimal. Selain mengelola limbah tekstil, sektor tersebut juga perlu mengolah limbah plastik polyethylene terephthalate (PET). Menurut Khayam, tingkat daur ulang PET di Eropa harus mencapai 25 persen. Sehingga, Indonesia juga diharapkan dapat memanfaatkannya sebaik mungkin.
Khayam menambahkan, guna mewujudkan industri hijau yang berkelanjutan, pemerintah telah menyiapkan berbagai upaya seperti perumusan kebijakan, peningkatan kapasitas instansi kelembagaan melalui penelitian dan pengembangan, pengujian, sertifikasi, serta promosi.
Selanjutnya, standardisasi pada bahan baku, bahan baku tambahan, dan energi, juga pada proses produksi, produk, manajemen pemanfaatan, dan pengelolaan limbah. Pemerintah juga mengupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung penerapan prinsip industri hijau.
“Selain itu, insentif merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian. Hal ini sudah diterapkan di negara-negara maju dan sudah dimulai di sini, seperti dengan pendirian bank sampah yang sebagian memberikan imbalan kepada masyarakat yang mengumpulkan dan menyerahkan sampah. Langkah ini perlu didukung dengan koordinasi antarpihak terkait,” pungkasnya.