LPAI: Penculikan Oleh Orang Tua Kandung Adalah Tindak Pidana

Trisya Suherman, Ketua Moeldoko Center (Herman Effendi/Beritakota.id)

Beritakota.id, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2011-2017, tercatat 476 anak di Indonesia menjadi korban penculikan oleh orang tua kandung atau parental abduction. Fenomena ini umumnya terjadi dalam situasi konflik keluarga, terutama ketika kedua orang tua bersengketa dalam proses perceraian atau perebutan hak asuh anak.

Meskipun parental abduction telah dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 330 KUHP, penegakan hukumnya masih jauh dari optimal. Hingga saat ini, banyak kasus penculikan anak oleh orang tua kandung yang tidak mendapatkan penanganan serius dari aparat penegak hukum, meskipun korban yang kehilangan anaknya memiliki hak asuh sah berdasarkan putusan pengadilan.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi (Kak Seto), menyoroti dampak serius parental abduction terhadap anak. Ia menjelaskan bahwa tindakan ini dapat menimbulkan trauma psikologis mendalam, terutama ketika anak dipisahkan secara paksa dari orang tua yang memiliki hak asuh.

“Dalam banyak kasus, anak yang diculik tidak hanya mengalami kehilangan secara fisik, tetapi juga mengalami tekanan emosional yang berat akibat doktrinasi untuk membenci atau menjauhi salah satu orang tuanya. Ini bisa berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mental, perkembangan sosial, dan kemampuan komunikasi anak,” ujar Kak Seto salam sambungan secara virtual, Selasa (11/2/2025).

Ia juga menyoroti kasus anak yang diculik di tengah jalan dan diselundupkan ke luar negeri, yang semakin memperparah dampak psikologis akibat keterpisahan dari lingkungan yang familiar.

Ahli Hukum Pidana Anak sekaligus Dosen Hukum Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, menegaskan bahwa parental abduction merupakan pelanggaran hukum yang serius. Menurutnya, Pasal 330 KUHP yang telah diputuskan oleh MK secara eksplisit mengkriminalisasi tindakan perampasan hak asuh anak oleh orang tua kandung.

“Putusan MK telah jelas bahwa ayah atau ibu yang merampas hak pengasuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan adalah tindakan melawan hukum. Aparat penegak hukum dan lembaga terkait wajib bertindak tegas dalam menindaklanjuti kasus seperti ini. Sayangnya, hingga saat ini implementasinya masih jauh dari harapan. Seharusnya, jika pasal ini diterapkan dengan tegas, kasus penyelundupan anak ke luar negeri dapat dicegah sejak dini,” tegas Ahmad Sofian.

Ketua Umum Moeldoko Center, Trisya Suherman, mengungkapkan bahwa perempuan di Indonesia masih sering mengalami ketidakadilan dalam persoalan hak asuh anak, terutama dalam kasus parental abduction.

“Data Komnas Perempuan periode 2019-2023 menunjukkan bahwa dari 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami, sepertiga di antaranya terkait langsung dengan perebutan hak asuh anak. Sayangnya, banyak perempuan yang menjadi korban delay in justice, di mana proses hukum berjalan lambat atau bahkan tidak mendapatkan perhatian serius. Ironisnya, dalam banyak kasus, pelaku parental abduction adalah pihak yang sebelumnya juga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tetapi tetap dibiarkan mengasuh anak-anak yang seharusnya berada di bawah pengasuhan ibu yang sah secara hukum,” jelas Trisya.

Lima ibu yang menjadi korban parental abduction membagikan pengalaman pahit mereka dalam memperjuangkan keadilan:

1. Nur mengalami penculikan anak sebanyak dua kali. Selama lebih dari setahun, ia kehilangan kontak dengan anaknya, sementara laporan ke pihak berwenang tidak ditindaklanjuti.

2. Angelia Susanto kehilangan anaknya, EJ, yang diculik oleh mantan suaminya yang merupakan WNA Filipina sejak tahun 2020. EJ diduga telah diselundupkan ke luar negeri dengan bantuan oknum polisi, meskipun mantan suaminya telah berstatus tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai lokasi dan kondisi EJ.

3. Anlita menjadi korban KDRT berulang kali sebelum akhirnya anaknya diambil paksa oleh mantan suaminya. Ia bahkan dilaporkan ke polisi, sementara mantan suaminya yang berstatus tersangka tetap bebas.

4. Shafira sudah terpisah dari putrinya selama satu tahun. Tanpa ada nafkah sejak lahir, tiba-tiba mantan suami dan mertuanya mengambil paksa anaknya tanpa izin. Hingga kini, ia tidak diberikan akses untuk bertemu dengan anaknya.

5. Felicia Haliman mengalami kekerasan dari mantan suami dan mertuanya sebelum akhirnya berhasil melarikan diri bersama anaknya. Namun, aksesnya ke anak diputus setelah perceraian dan berbagai kesepakatan hukum yang sudah dibuat tetap diingkari oleh mantan suaminya.

Tak hanya itu, Siti Rahmawati, yang memegang hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan, juga harus menghadapi kenyataan bahwa mantan suaminya memarahi anak-anaknya jika mereka mencoba berkomunikasi dengannya. Sementara itu, S telah terpisah dari kedua anaknya, M & W, selama 13 tahun akibat pengaruh dari keluarga mantan suaminya, hingga akhirnya kedua anak tersebut menolak untuk bertemu dengannya.

Para ibu korban parental abduction menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan nyata dalam menegakkan Putusan MK terkait Pasal 330 KUHP. Mereka juga meminta agar setiap laporan penculikan anak oleh orang tua kandung diproses dengan cepat dan serius, serta adanya sanksi tegas bagi para pelaku.

Baca juga : Kak Seto Geram Namanya Dicatut untuk Kepentingan Persaingan Dagang

Sebagai langkah konkret, para ibu korban parental abduction mengajukan aduan langsung kepada Wakil Presiden melalui kanal Lapor Mas Wapres guna meminta perhatian khusus terhadap kasus mereka.

“Kami berharap hati nurani pemerintah terketuk, agar kami bisa segera bertemu kembali dengan anak-anak yang kami lahirkan dan besarkan. Hak asuh kami telah diputuskan oleh pengadilan, tetapi hukum yang ada seolah tidak dapat melindungi kami,” ujar salah satu ibu korban.

Kasus parental abduction yang terus terjadi tanpa penyelesaian yang adil menyoroti kelemahan sistem hukum di Indonesia dalam melindungi hak-hak anak dan ibu. Pemerintah, aparat penegak hukum, serta lembaga terkait harus segera bertindak agar tidak semakin banyak anak yang menjadi korban perampasan hak asuh yang tidak sah. (Herman Effendi/Lukman Hqeem)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *