Opini  

Mudharabah Cara Islam Menangani Pembiayaan Bermasalah

Mudharabah Cara Islam Menangani Pembiayaan Bermasalah
Mudharabah Cara Islam Menangani Pembiayaan Bermasalah

Beritakota.id, Jakarta – Produk milik lembaga keuangan konvensional salah satunya adalah pinjaman, berbeda dengan syariah yang menyebutnya dengan pembiayaan. Karena dalam hukum syariah tidak ada yang namanya hutang pada transaksi lembaga keuangan.

Pembiayaan syariah itu sendiri adalah suatu kegiatan lembaga keuangan salah satu caranya adalah mengumpulkan dana nasabah dalam bentuk giro, tabungan, atau deposito, lalu dana yang dikumpulkan akan dialokasikan ke masyarakat guna mendukung pembiayaan atau layanan keuangan lainnya (Winarto & Falah, 2020).

Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pembiayaan merupakan penyediaan dana dan tagihan yang dihubungkan dengan transaksi yang menggunakan prinsip bagi hasil, sewa-menyewa, jual beli, pinjam-meminjam, dan sewa beli.

Nasabah bank yang menerima bantuan pembiayaan berbagai jenisnya, diwajibkan untuk mengembalikan dana pembiayaan setelah jangka waktu yang telah ditetapkan kepada bank dengan memberikan bagi hasil, ataupun tanpa imbalan pada jenis transaksi yang menggunakan akad qardh (Sudarto, 2020).

Akad Pembiayaan Syariah melalui Akad Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modal, di mana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan oleh pihak-pihak yang terlibat. Dalam Al-Quran, konsep ini ditemukan dalam QS. Al-Baqarah Ayat 198 yang menyatakan “…Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. UU Nomor 10 Tahun 1998 mengakui mudharabah sebagai salah satu bentuk pembiayaan berbasis bagi hasil. Selanjutnya, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang surat berharga syariah negara menjelaskan mudharabah sebagai kerjasama antara pihak penyedia modal dan pihak penyedia tenaga dan keahlian, dengan keuntungan dan kerugian ditanggung masing-masing pihak.

Berikut adalah unsur-unsur pokok dalam pembiayaan mudharabah:

  1. Pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan modal,
  2. Pengelola (mudharib) yang mengelola usaha dan modal,
  3. Modal sebagai sumber daya untuk kegiatan usaha,
  4. Usaha dari pengelola modal untuk menghasilkan keuntungan,
  5. Keuntungan yang dibagi antara pemilik dana dan pengelola,
  6. Ijab (pemberitahuan awal) dan qabul (penerimaan) sebagai bagian dari proses perjanjian (shigah aqad).

Syarat-syarat bagi calon nasabah mudharabah melibatkan beberapa aspek berikut:

  1. Memenuhi kriteria standar sebagai nasabah yang telah ditetapkan.
  2. Lama beroperasinya usaha calon nasabah harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  3. Bagi nasabah walk-in client, calon nasabah diharapkan telah aktif menjalankan usahanya selama minimal 2 tahun.
  4. Calon nasabah yang telah menjalankan usaha selama minimal 1 tahun, menunjukkan manajemen usaha yang baik dan mendapatkan rekomendasi positif dari nasabah eksisting dianggap memenuhi syarat.
  5. Diperlukan kolektibilitas minimum yang lancar (kolektabilitas 1) selama 6 bulan secara berkesinambungan, terutama saat memiliki pembiayaan dari lembaga pembiayaan lain.
  6. Calon nasabah diwajibkan memiliki rekening giro aktif di bank yang bersangkutan.
  7. Usaha calon nasabah harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tidak melanggar norma syariah yang berlaku.
  8. Proses persyaratan juga mencakup kelengkapan pengajuan dokumen yang harus dilengkapi dan diserahkan kepada bank untuk dilakukan analisis pembiayaan lebih lanjut.

Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 mengenai pembiayaan mudharabah (Qiradh) dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Mudharabah diperbolehkan untuk dibatasi dalam rentang waktu tertentu.
  2. Kontrak mudharabah tidak diperbolehkan dihubungkan (mu’allaq) dengan peristiwa di masa depan yang belum pasti terjadi.
  3. Secara prinsip, dalam mudharabah, tidak ada mekanisme penggantian rugi, karena akad ini didasarkan pada amanah (yad al-amanah). Pengecualian terjadi apabila terdapat kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran perjanjian.
  4. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau terjadi perselisihan, penyelesaiannya akan dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah. Jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, Badan Arbitrase Syariah menjadi instansi penyelesaian sengketa yang diandalkan.

Faktor Pembiayaan Bermasalah

Pembiayaan bermasalah merujuk pada situasi ketika pembiayaan tidak berjalan sesuai rencana atau ketika nasabah kesulitan dalam membayar kembali pinjaman sehingga dapat mengakibatkan risiko kerugian bagi lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan tersebut.

Dalam jurnal Manajemen Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah pada Lembaga Perbankan Syariah (2016) karya Muhammad Tarmudi, dijelaskan bahwa faktor pembiayaan bermasalah terbagi menjadi dua jenis, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor dari sisi internal biasanya berasal dari pihak lembaga keuangan itu sendiri yang kurang tepat dalam manajemen keuangan serta pengawasan internal yang lemah, sehingga tidak dapat melakukan analisa yang akurat terkait apa yang akan terjadi dalam kurun waktu pembiayaan.

Faktor dari sisi eksternal yang mengakibatkan pembiayaan bermasalah mencakup perilaku nasabah yang dengan sengaja tidak ingin mengmbalikan pinjaman, nasabah menyalahgunakan dana pinjaman yang tidak sesuai dengan tujuan awal pinjaman, serta faktor tidak terduga seperti bencana alam atau situasi-situasi ekonomi yang tidak stabil sehingga menyebabkan inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga.

Penanganan Pembiayaan Bermasalah

Terdapat beberapa cara untuk menangani pembiayaan yang bermasalah yaitu dengan melakukan upaya upaya dengan sifat pencegahan(Preventif) dan juga dengan cara yang bersifat represif/kuratif. Lembaga keuangan seharusnya melakukan upaya pencegahan sejak dari awal permohonan pembiayaan yang diajukan oleh nasabah sampai dengan pemantauan atau juga pengawasan pada pembiayaan yang telah diberikan. Selanjutnya penanganan yang bersifat represif/kuratif ini dengan cara menyelesaikan atau penyelamatan pada pembiayaan yang telah bermasalah(NPF/Non Performing Finance) (Madjid, 2018).

Umumnya, proses menangani pembiayaan bermasalah dilakukan dengan penyelesaian secara bertahap oleh lembaga keuangan itu sendiri dengan cara pendekatan yang persuasif. Apabila masih tidak dapat dilakukan secara persuasif maka tahap selanjutnya Setelah melewati tahap awal yaitu dengan cara penyelesaian oleh agen penagih utang (Debt Collector), penyelesaian dengan lelang, penyelesaian di pengadilan, penyelesaian oleh arbitrase, atau juga penyelesaian dengan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) khusus untuk lembaga keuangan (Bank) milik negara (BUMN) (Madjid, 2018).

Dalam menangani masalah pembiayaan yang bermasalah, tentu saja ketentuan dari Fatwa DSN-MUI terkait penyelesaian piutang menjadi acuan. Restrukturisasi menjadi salah satu metode penyelesaian yang sesuai dengan prinsip dan ketentuan syariah dalam menyelesaikan utang atau kewajiban dari pembiayaan yang bermasalah yang dilakukan dengan syariah, yaitu melalui (Sudarto, 2020) :

Melakukan Penjadwalan ulang (rescheduling)

Caranya adalah dengan memperpanjang jangka waktu dari pembiayaan, dimana nasabah yang dibiayai ini diberikan kemudahan dan keringanan yaitu dengan cara menambah jangka waktu pembiayaan, misalnya: memperpanjang jangka waktu pembiayaan dari yang awalnya 6 bulan menjadi 12 bulan, sehingga nasabah memiliki waktu yang lebih panjang untuk dapat membayar angsurannya.  Tentunya dengan jangka waktu yang lebih panjang membuat jumlah angsuran menjadi lebih kecil yang dapat disanggupi oleh nasabah untuk membayar kewajibannya.

Persyaratan Ulang (reconditioning).

Persyaratan Ulang (reconditioning), yaitu mengubah beberapa atau semua ketentuan pendanaan tanpa menambah jumlah sisa pokok kewajiban yang harus dibayarkan oleh anggota kepada lembaga keuangan. Di antaranya yaitu; 1). Merubah jadwal pembayaran, 2). Perubahan besaran jumlah angsuran, 3). Perubahan lama jangka waktu, 4). Diberikannya potongan.

Penyelesaian Dengan Jaminan

Hal ini dilakukan dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara menjual barang/aset yang dijadikan collateral atau jaminan dalam rangka melunasi kewajiban.

Etika Islam Menangani Pembiayaan Bermasalah

Etika bisnis Islam menurut Yusuf Qardhawi yaitu pengaturan etika dalam Islam yang memiliki tujuan untuk mengajarkan manusia agar tolong menolong, menjalin hubungan kerja sama, dan menjauhkan dari berbagai hal yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Kebijakan yang dilakukan dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah dapat dihubungkan dengan prinsip – prinsip dan nilai etika bisnis dalam islam berdasarkan perspektif Dawam Rahardjo (1990) yang diantaranya adalah Tauhid, Khalifah, Ihsan, Fastabikhul khairat, Amanah, Taqwa, Taawun dan Taaruf.

Tauhid

Dalam melakukan penyelesaian pembiayaan bermasalah hal dasar yang menjadi pegangan terhadap penyelesaian pembiayaan bermasalah yaitu usaha yang dilakukan dalam menyelesaikan pembiayaan murabahah bermasalah semata – mata karena Allah Swt.

Khalifah

Yaitu mampu untuk mengelola sumber daya saat menyelesaikan kejadian seperti pembiayaan yang bermasalah. Maksudnya memiliki sumber daya dengan keahlian untuk melakukan pelelangan, bernegosiasi, dan berusaha untuk membujuk nasabah di dalam menyelesaikan pembiayaan yang bermasalah.

Ihsan

Maksud dari ihsan adalah menciptakan suatu inovasi dengan semangat positivisme yang mana akan memberikan kebaikan pada orang lain. Dimana dengan adanya beragam inovasi, bisa menjadi jalan keluar bagi masalah yang dialami oleh nasabah. Inovasi untuk menyelesaikan pembiayaan nasabah yang bermasalah itu seperti ide pembaharuan dengan meningkatkan layanan dan juga kualitas pembiayaan menjadi lebih baik, bagaimana agar kualitas pembiayaan jadi lancar kembali.

Fastabiqul Khairat (optimisme)

Sikap optimis perlu diterapkan dalam melaksanakan proses penyelesaian pembiayaan bermasalah. Dengan dilakukannya pengawasan guna meningkatkan pemantauan terhadap nasabah dengan kasus pembiayaan bermasalah & tidak melakukan pengecualian kepada berbagai macam tahap dalam penyelesaian pembiayaan yang bermasalah.

Amanah

Sikap amanah antar tim kerja didalam melakukan tugas dan tanggung jawab harus dilakukan dalam proses penyelesaian pembiayaan bermasalah pada nasabah. Jika terdapat nasabah yang bermasalah dalam pembiayaannya petugas akan memberikan penjelasan yang diharapkan nasabah akan mengerti kalau pembayaran angsuran merupakan tanggung jawab nasabah itu sendiri disaat adanya pembiayaan bermasalah.

Taqwa

Saat menyampaikan adanya pembiayaan bermasalah harus tetap menjaga kenyamanan nasabah. Secara transparan dan juga tidak menutup-nutupi pembiayaan yang sedang bermasalah disampaikan kepada nasabah tersebut secara halus kepada nasabah.

Ta’awun (musyawarah)

Mencari solusi untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah bersama dengan melakukan musyawarah di antara petugas dan tim kerja sangat penting. Musyawarah dalam penyelesaian pembiayaan yang bermasalah dilakukan dengan cara memperlihatkan dan juga menjabarkan pembiayaan bermasalah yang sudah disusun menurut tingkat kolektibilitas nya masing – masing. Saat proses penyelesaian tunggakan angsuran petugas juga melibatkan nasabah didalamnya.

Taaruf (kemampuan komunikasi)

Menyampaikan terkait penjelasan informasi apapun yang diperlukan nasabah melalui komunikasi dua arah dengan nasabah. Sebab hal tersebut termasuk salah satu hak yang dimiliki nasabah supaya mendapat penjelasan informasi yang dia perlukan, supaya mencegah terjadinya kesalahpahaman antar nasabah dan juga petugas selama proses penyelesaian. (Sarah Fadillah, Sheikha Najla Jamal, Ridha Fajrina, Nailah Meliyana Dara, Omar Fauzi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *