Beritakota.id, Jakarta – Electricity Connect 2025 mendorong komitmen seluruh pemangku kepentingan kelistrikan di tanah air untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan teknologi demi menyukseskan agenda transisi energi. Forum yang berlangsung di Jakarta International Convention Center (JCC) ini menghadirkan pembahasan mendalam mengenai strategi pengembangan kompetensi SDM dan inovasi teknologi yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan ekosistem energi hijau di Indonesia.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Prahoro Yulijanto Nurtjahyo menyampaikan, meningkatkan kapasitas SDM adalah salah satu pondasi penting untuk menyukseskan transisi energi. Pemerintah telah mengidentifikasi saat ini telah ada 3,764 peluang kerja baru dalam ekosistem ekonomi hijau. Sementara, SDM yang mumpuni untuk mengisi kebutuhan tersebut dirasa masih belum mencukupi.

Baca juga : Pemerintah Mantapkan Transisi Energi Bersih Berbasis EBT 

Untuk itu, pemerintah telah menyusun agenda pengembangan SDM hijau menjadi enam periode hingga mencapai net zero emission di tahun 2060. Beberapa sektor yang dibidik pemerintah antara lain pemenuhan SDM hidrogen di 2031, SDM nuklir di tahun 2032, serta SDM sistem energi baterai pada tahun 2035.

“Kami membaginya menjadi enam periode waktu yang berbeda, dan untuk setiap periode waktu, kami punya teknologi spesifik yang menjadi fokus kami. Artinya, kita perlu tumbuh untuk mencapai target itu,” papar Prahoro.

Lebih lanjut, Ia memaparkan bahwa saat ini Indonesia memiliki tenaga kerja usia produktif sebanyak 145 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, baru 10,5% (sekitar 30-40 juta jiwa) di antaranya yang berpendidikan strata sarjana atau lebih tinggi. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri untuk pemerintah mendorong ketersediaan SDM kompeten di ekosistem hijau.

“Ada peluang kerja, ada permintaan, dan ada suplai SDM meski masih terbatas. Saya kira kondisi inilah yang mesti dipecahkan melalui kolaborasi antara pemerintah mitra-mitra strategis,” imbuhnya.

Rektor Institute Teknologi PLN (IT PLN), Iwa Garniwa menyampaikan, Indonesia butuh pengembangan kompetensi khusus untuk membangun SDM yang sesuai dengan kebutuhan transisi energi. Sementara, berdasarkan rancangan pengembangan ekosistem hijau dari pemerintah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, akan sangat besar kebutuhan SDM kompeten di berbagai bidang energi baru dan terbarukan (EBT).

“Kami telah mencoba melakukan perhitungan, dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) saja, kita membutuhkan SDM sekitar 72-74 ribu jiwa untuk target pengembangan kapasitas PLTS 32–37 Gigawatt (GW). Jika kita bangun 4 PLTS, maka kita butuh tak kurang dari 400 ribu SDM kompeten,” paparnya.

Iwa juga menekankan bahwa kondisi tersebut juga menjadi tantangan bagi universitas untuk menyiapkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan transisi energi di Indonesia. Maka,  ITPLN kemudian mengembangkan berbagai program studi dan penelitian yang mendukung transisi energi.

“Hal yang krusial juga adalah bagaimana lembaga pendidikan berkolaborasi dengan industri. Untuk itu, kami di ITPLN melakukan kerjasama dengan industri seperti internship terkait EBT, menjalankan program riset bersama, hingga pelatihan dan sertifikasi industri,” tukas Iwa.

Wakil Rektor Bagian Riset dan Inovasi Institut Teknik Bandung (ITB) Lavi Rizki Zuhal mengatakan, keberhasilan transisi energi sangat ditentukan oleh kesiapan teknologi dan SDM kompeten. Dalam hal ini, ITB telah mereformasi kurikulum di level sarjana untuk mengantisipasi kebutuhan tersebut. Sedangkan di level pascasarjana, ITB menjalin kolaborasi lebih erat dengan industri terkait EBT.

“Kita mesti menyiapkan siswa untuk dapat beradaptasi dengan lapangan kerja baru. Seperti siswa di program sustainability di ITB yang mesti mengikuti kursus dari semua jurusan. Kami ingin memastikan bahwa lulusan kami punya pondasi pengetahuan dan keterampilan yang baik, serta mentalitas untuk selalu belajar hal baru. Seperti yang kita tahu transisi energi membutuhkan banyak RnD (Research and Development),” pungkasnya. (Herman Effendi / Lukman Hqeem)