Beritakota.id, Jakarta – Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat serapan mineral dalam negeri guna menjaga daya tahan industri manufaktur nasional. Langkah ini dinilai penting sebagai respons atas potensi dampak dari kebijakan tarif tinggi yang kemungkinan kembali diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus dalam keterangan resminya mengungkapkan bahwa meskipun ekspor langsung Indonesia ke pasar AS masih didominasi oleh produk seperti kelapa sawit, tekstil, dan alas kaki, kebijakan proteksionis AS tetap berpotensi memberikan efek domino yang signifikan terhadap rantai pasok global, termasuk sektor mineral.
“Perdagangan global ibarat jaring laba-laba. Jika AS terganggu, maka negara mitra seperti Jepang dan China juga akan terdampak, dan pada akhirnya Indonesia pun akan merasakan imbasnya,” ujar Heri, Kamis (10/4/2025).
Dalam konteks tersebut, Heri menegaskan pentingnya memperkuat ketahanan ekonomi domestik, salah satunya melalui akselerasi program hilirisasi mineral. Tidak hanya sebatas meningkatkan kapasitas pengolahan mineral mentah, pemerintah juga harus memastikan keterkaitan yang kuat antara produk olahan tersebut dengan kebutuhan riil industri manufaktur nasional.
Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk menekan ekspor produk mineral mentah dan mengolahnya di dalam negeri menjadi produk bernilai tambah tinggi seperti peralatan dapur, komponen otomotif seperti knalpot dan rangka mobil, hingga peralatan rumah tangga. Upaya ini tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, mendorong pertumbuhan industri lokal, serta memperkuat daya beli masyarakat.
Lebih lanjut, Heri menyoroti pentingnya substitusi impor melalui optimalisasi potensi industri dalam negeri. “Jika manufaktur kita kuat dan bisa memenuhi kebutuhan pasar lokal, maka ketergantungan pada barang impor dapat dikurangi. Hal ini tentu berdampak positif terhadap cadangan devisa negara, terutama dalam situasi ketidakpastian global seperti sekarang,” jelasnya.
Selain itu, Heri juga mengingatkan bahwa China merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia di sektor mineral dan logam dasar. Jika ekspor China ke AS terganggu akibat kebijakan tarif, maka permintaan mereka terhadap produk hilirisasi dari Indonesia juga berpotensi menurun.
“Ini mengapa pemerintah harus serius dalam memperkuat pasar domestik. Ketahanan ekonomi nasional akan sangat bergantung pada seberapa siap industri kita menyerap dan mengolah sumber daya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” tegasnya.
Langkah ini, menurut Heri, tidak hanya relevan dalam konteks ketegangan perdagangan global, tetapi juga sejalan dengan visi besar transformasi ekonomi Indonesia menuju negara industri yang mandiri dan berdaya saing. (Herman Effendi)