Beritakota.id, Jakarta – Pola pikir instan dan bertindak seperti sekarang ini yang tidak komprehensif dan parsial, Indonesia tidak mungkin menuju zero ODOL (Over Dimension Overload).
Hal itu dikarenakan ODOL adalah masalah kompleks yang harus ditangani sejak dari hulu sampai hilir yang tidak bisa ditangani dengan cara penegakan hukum saja tapi harus melibatkan seluruh kementerian terkait dan pemerintah daerah.
“Benahi cara berpikir sebagai manajer yang menentukan sasaran dan perwujudan sasaran khususnya bagi Kemenhub. Bukan sebagai pelaksana atau berpikir operasional. Ini harus dibiasakan karena tuntutan dari Peraturan Perundang-undangan bidang LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) semua diawali dengan penentuan sasaran,” ujar Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno.
Untuk itu, mantan Direktur Keselamatan Transportasi Kementerian Perhubungan mengatakan perlu adanya perencanaan menyeluruh mulai tindakan pencegahan sampai dengan penindakan. Perlu ada perencanaan jangka panjang seperti Rencana Aksi Nasional keselamatan. Manajemennya adalah termasuk manajemen Keselamatan LLAJ karena penangan ODOL itu bagian dari manajemen Keselamatan LLAJ. Penanganannya juga harus dalam satu paket dengan manajemen Keselamatan LLAJ yang sudah memiliki format baku atau formatnya sudah ada.
“Jadi, perlu adanya perencanaan jangka panjang seperti RANK (Rencana Aksi Nasional Keselamatan) LLAJ jangka waktu 20 tahun, dan turunan termasuk Rencana Pencegahan dan Penindakan ODOL,” tukasnya.
Kalau selama ini, dia melihat penanganan ODOL itu dilakukan parsial, yaitu hanya dengan penegakan hukum dan tidak melibatkan semua instansi terkait dan tidak ada pemimpin atau komandannya seperti shalat berjamaah yang imamnya banyak.
“Kesalahannya yaitu tidak melibatkan Presiden. Padahal yang harus bertanggung jawab adalah Presiden bukan Menteri Perhubungan. Menteri Perhubungan hanya bertanggung jawab untuk pemenuhan persyaratan kendaraan berkeselamatan. Penegakan hukum juga bukan tanggung jawab Menteri Perhubungan tetapi tanggung jawab Polri,” katanya.
Untuk itu, dia menyarankan agar digunakan skema manajemen Keselamatan LLAJ yang diatur dalam PP 37 Tahun 2017.
Dia mengungkapkan zero ODOL adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan mimpi untuk meniadakan pelanggaran ODOL. Namun sejatinya terdapat beberapa pelanggaran yang terjadi. Di antaranya pelanggaran kelas jalan, pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan (pelanggaran dimensi dan muatan), serta pelanggaran wajib uji tipe.
Menurutnya, pelanggaran ODOL sudah terjadi puluhan tahun, paling tidak sudah terjadi sejak tahun 1980 dan sampai sekarang belum ada penyelesaian yang memadai. Pelanggaran tersebut pada dasarnya adalah akibat sistem yang tidak efisien, sehingga pemilik barang dan operator menganggap ODOL cenderung lebih efisien dibanding mematuhi ketentuan berlaku karena tidak ada pilihan yang lebih efisien secara normal.
“Jadi, kendala yang paling utama adalah pilihan moda lain yang secara teoritik lebih efisien untuk jarak jauh ternyata tidak efisien,” tuturnya.
Dia juga menambahkan perlunya dilakukan harmonisasi pengaturan kelas jalan yang diawali dengan perubahan PP 30 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang LLAJ. Karena, lanjutnya, pengaturan kelas jalan tidak tuntas sehingga tidak dapat dilakukan penetapan kelas jalan dan penetapan larangan penggunaan jalan berdasarkan kelas jalan.
”Solusinya, susun perubahan PP 30 Tahun 2021 agar pengaturan kelas jalan lengkap sehingga dapat ditetapkan kelas jalan dan penetapan larangan penggunaan jalan berdasarkan kelas jalan,” ucapnya.
Jadi, kata Suripno, permasalahan fundamental carut marut pengelolaan transportasi di Indonesia selama ini adalah karena tidak ada perencanaan sistem transportasi berupa Rencana Induk Transportasi. Ibarat membangun gedung, tidak dibuat cetak biru.
“Yang dilakukan adalah langsung membuat rencana kerja membangun dan itu dilakukan suka-sukanya yang membuat, yang bikin jalan merencanakan sendiri jalan. Bahkan yang ditonjolkan selama ini jalan tol. Yang bandara bikin bandara, yang bikin pelabuhan bikin pelabuhan. Ibarat shalat, masing-masing shalat sendiri dengan agendanya masing-masing. Sudah nggak ada cetak biru, ditambah masing-masing jadi imam,” tukasnya.
“Jadi, buat cetak biru dan buat badan koordinasi yang dipimpin pejabat yang ditunjuk Presiden untuk bertindak atas nama Presiden,” tegasnya.