Beritakota.id, Jakarta – Kampus Unggul Universitas Borobudur kembali menggelar sidang terbuka promosi doktor di bidang Ilmu Hukum. Kali ini, sidang terbuka promosi doktor Ilmu Hukum menjadi momen penting bagi Dr. M. Alhadi Haq ,S.IP, S.H, M.Si, M.H. Alhadi Haq berhasil lulus dengan nilai cumlaude.
Hadi merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari angkatan 25, yang berhasil meraih gelar Doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penyitaan dan Perampasan Harta kekayaan Milik Pihak Ketiga Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan”.
Pria yang berprofesi sebagai penyidik di Bareskrim Polri ini mengemukakan alasannya membuat penelitian ini, karena berfokus pada perlindungan hukum bagi pihak ketiga beritikad baik dalam kasus penyitaan dan perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang.
Meskipun Pasal 67 dan Pasal 79 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah memberikan kerangka kerja perlindungan, masih terdapat limitasi hanya keberatan terhadap objek penyitaan dan perampasan asset berupa uang dalam akun rekening yang telah dilakukan penundaan transaksi oleh PPATK berdasarkan pasal 67 UU No.8 tahun 2010 tengang Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang penanganannya dilimpahkan kepada penyidik dan jika setelah 30 hari penyidik tidak menemukan tersangkanya , maka penyidik dapat memohonkan perampasan terhadap aset berupa uang dalam rekening yang diduga tidak bertuan tersebut dirampas menggunakan mekanisme Perma 1 tahun 2013, akan tetapi terdapat kekosongan hukum terkait pengajuan keberatan pihak ketiga beritikad baik dalam perkara TPPU terkait penyitaan dan perampasan asset selain objek uang yang telah dibekukan oleh PPATK, dan dalam hal ketika tersangka atau terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan berdasarkan pasal 79 ayat 4 maka pihak ketiga kehilangan hak untuk mengajukan upaya hukum.
Baca juga: Raih Gelar Doktor Hukum, Henry Indraguna Ingin Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan
Selain itu, kata hadi, batas waktu pengajuan keberatan 20 hari sering kali tidak mencukupi disebabkan ketiadaan prosedur yang jelas yang harus ditempuh oleh pihak ketiga beritikad baik, ketidakjelasan pedoman bagi penyidik dalam memisahkan aset yang sah dari aset hasil kejahatan juga menjadi tantangan serius.
Penelitian ini mengeksplorasi tiga isu utama terkait penyitaan dan perampasan aset milik pihak ketiga dalam tindak pidana pencucian uang. Pertama, Mengapa penyitaan dan perampasan harta kekayaaan miliki pihak ketiga harus sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kedua, lanjutnya, bagaimana upaya perlindungan hukum dan keadilan yang diberikan kepada pihak ketiga yang beritikad baik saat menghadapi penyitaan dan perampasan aset terkait tindak pidana pencucian uang.
Ketiga, bagaimana reformulasi norma hukum yang ideal dalam menyusun pedoman yang jelas dan efektif untuk melindungi pihak ketiga beritikad baik, guna memastikan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam penegakan hukum pencucian uang.
“Hasil penelitian ini menemukan bahwa ketidakpastian hukum dalam proses penyitaan dan perampasan harta kekayaan milik pihak ketiga dalam tindak pidana pencucian uang sangat mencolok, terutama terkait kondisi ketika dalam perkara tindak pidana TPPU dengan pidana asal penipuan investasi, korban yang telah menginvestasikan uang kepada pelaku dan mengalami penipuan justru harus mengalami kehilangan hartanya akibat sistem peradilan pidana berdasarkan putusan pengadilan yang merampas untuk negara aset berupa uang milik pelaku yang bersumber dari korban, padahal barang bukti yang dirampas bukan objek kerugian negara contoh kasus perampasan aset dalam perkara First travel, travel umroh abu tour dan banyak lagi kasus lainnya yang merugikan posisi pihak ketiga beritikad baik seperti penyitaan harta kekayaan milik pihak ketiga beritikad baik yang tidak terlibat atau tidak turut serta melakukan kejahatan TPPU dan tidak ada niat untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan namun hartanya harus dilakuka penyitaan bahkan harus dirampas dikarenakan harta yang sah milik pihak ketiga tercampur ( mingling ) dengan hasil kejahatan, ” kata Hadi usai menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Hukum di Gedung D, kampus Universitas Borobudur, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan, mekanisme perlindungan yang ada, seperti penggantian kerugian dan pengajuan keberatan, belum
diatur secara jelas, sehingga pihak ketiga sering kali kehilangan hak mereka. Untuk mengatasi celah hukum ini, diperlukan payung hukum yang lebih jelas melalui revisi undang-undang atau pembentukan peraturan baru guna memberikan perlindungan yang adil dan kepastian hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik.
Dirinya menekankan, Tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan bentuk kejahatan yang kompleks dan terorganisir, yang tidak hanya melibatkan pelaku utama tetapi juga
berdampak luas pada pihak-pihak lain di luar pelaku, termasuk pihak ketiga yang beritikad baik. Salah satu aspek penting dalam penegakan hukum terhadap TPPU adalah penyitaan dan perampasan aset yang diduga berasal dari tindak pidana.
“Dalam praktiknya, penyitaan dan perampasan ini sering kali tidak hanya menyasar aset pelaku, tetapi juga dapat mencakup aset milik pihak ketiga yang tidak terlibat dalam kejahatan tersebut. Situasi ini menimbulkan dilema hukum, di mana negara berusaha memulihkan kerugian dari kejahatan, tetapi di sisi lain menimbulkan potensi pelanggaran hak-hak pihak ketiga yang sah atas kepemilikan asetnya,” papar Hadi.
Pentingnya pengaturan yang adil dan proporsional dalam proses penyitaan dan perampasan harta kekayaan menjadi semakin mendesak ketika mempertimbangkan bahwa pihak ketiga beritikad baik sering kali tidak memiliki cukup ruang hukum untuk membela haknya. Dalam kerangka hukum yang ada saat ini, perlindungan terhadap mereka belum sepenuhnya memadai.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakharmonisan dan kekosongan hukum yang perlu ditangani secara serius. Meskipun Undang-Undang TPPU telah mengatur mekanisme penyitaan dan perampasan serta memberikan kemungkinan keberatan oleh pihak ketiga,namun tidak adanya pengaturan yang terperinci dan menyeluruh menciptakan ketidakpastian hukum.
Ketentuan hukum yang ada belum sepenuhnya diselaraskan dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) maupun RUU Perampasan Aset.
Akibatnya, perlindungan terhadap hak kepemilikan yang sah tidak dapat diimplementasikan secara konsisten, dan aparatur penegak hukum khususnya penyidik pun tidak memiliki pedoman yang memadai untuk mampu memisahkan aset yang sah dengan hasil tindak pidana.
“Situasi ini juga menciptakan ruang bagi kesalahan prosedur dan atau bahkan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Dalam praktiknya, aparat penagak hukum berada dalam dilema: di satu sisi mereka harus memastikan bahwa aset yang berasal dari kejahatan dapat disita, tetapi di sisi lain mereka juga harus melindungi hak pemilik sah yang tidak terkait,” jelasnya.
Dampak dari kekosongan hukum ini dirasakan tidak hanya oleh pihak ketiga yang haknya dirugikan, tetapi juga oleh penegak hukum ketidakpastian dalam penanganan aset pun menjadi konsekuensi logis, yang mengganggu kelancaran peradilan dan memperpanjang proses pemulihan aset negara atau korban.
Oleh karena itu, diperlukan pembaruan hukum acara pidana yang secara eksplisit mengatur perlindungan dan pemisahan aset milik pihak ketiga yang beritikad baik melalui klusterisasi asset atau pengelompokkan asset sesuai dasar hukum kepemilikan seperti pemegang hak jaminan kebendaan, hak jaminan fidusia, hak tanggungan, hak pembeli beritikad baik sesuai Sema No 4 tahun 2016 dan hak lainnya yang seharusnya mendapatka perlindungan.
Selain aspek teknis hukum acara, pendekatan alternatif seperti penyerahan secara sukarela barang bukti asset yang tercampur, proses mediasi dan restorative justice untuk perkara TPPU yang kerugian kecil ,bukan kerugian negara dan tidak berdampak sosial dapat menjadi solusi yang lebih adil dan berorientasi pada pemulihan.
Restorative justice memungkinkan adanya dialog dan penyelesaian sengketa secara damai, yang melibatkan pelaku, korban, serta pihak ketiga yang terdampak.
Dalam konteks TPPU, pendekatan ini dapat mengakomodasi hak-hak pihak ketiga, sekaligus mempercepat proses pengembalian aset dan penyelesaian perkara.
“Penerapan mediasi non-penal dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan lebih efisien dan mengurangi beban proses peradilan pidana formal yang panjang dan kompleks. Namun, untuk dapat diterapkan secara efektif, pendekatan restorative justice harus didukung dengan regulasi yang jelas dan terintegrasi dalam sistem peradilan pidana yang ada,” ujar Hadi.
“Penyusunan kerangka hukum yang mengakomodasi mediasi dan mekanisme keberatan pihak ketiga sejak tahap penyelidikan hingga persidangan menjadi langkah penting dalam mewujudkan keadilan yang substansial,” lanjut Hadi.
Perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik bukan hanya soal hak milik, melainkan juga menyangkut prinsip keadilan, kepastian hukum, dan efektivitas penegakan hukum dalam memberantas kejahatan pencucian uang.
Dengan meningkatnya kompleksitas kasus TPPU di Indonesia, rekonstruksi hukum menjadi sangat mendesak. Dibutuhkan regulasi yang mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, baik aparat penegak hukum maupun warga negara yang terdampak. Payung hukum yang kuat dan terperinci tidak hanya akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga akan melindungi pihak ketiga agar tidak menjadi korban dari praktik penyitaan dan perampasan asset yang tidak proporsional. Tujuan akhir dari pembaruan hukum ini adalah menciptakan sistem hukum yang lebih adil, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta mampu menjaga integritas dan efektivitas pemberantasan kejahatan keuangan di Indonesia.
Hadi lulus di bawah bimbingan dari Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H selaku Promotor, dan Dr. Subianta Mandala, S.H., LLM selaku Ko Promotor. Dan yang bertindak sebagai dewan penguji sidang doktor diantara : Prof. Ir. H. Bambang Bernanthos, M.Sc yang merupakan Rektor Universitas Borobudur. Ketua Prof. Dr. Ir. Rudi Bratamanggala, M.M yang merupakan Wakil Rektor Universitas Borobudur
Sekretaris. Kemudian, Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H.,M.M Direktur Program Pascasarjana Universitas Borobudur, juga sebagai Anggota Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, M.H, Penguji Dalam Institusi Prof. Dr. Oksidelfa Yanto, S.H., M.H, sebagai Penguji Luar Institusi dari Universitas Pamulang.