Beritakota.id, Jakarta – Tak banyak film olahraga yang berani meninggalkan kisah heroik untuk menelusuri sisi paling gelap dari seorang atlet. The Smashing Machine (2025), garapan sutradara Benny Safdie, menjadi pengecualian yang menonjol.
Film ini mengisahkan perjalanan nyata Mark Kerr, petarung legendaris MMA yang dijuluki “The Smashing Machine” karena kekuatan brutalnya di arena pertarungan. Namun, di balik julukan itu tersembunyi manusia yang rapuh, dikepung kecanduan, tekanan mental, dan hubungan pribadi yang hancur.
Safdie tidak membuat film tentang kemenangan, tetapi tentang keruntuhan eksistensial — tentang bagaimana seorang juara belajar menerima bahwa kekuatan kadang tak cukup untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Kadang, pertarungan terberat bukan di ring. Tapi di dalam diri sendiri.”
– Mark Kerr, dalam The Smashing Machine (2025)
Dalam salah satu penampilan paling berani sepanjang kariernya, Dwayne “The Rock” Johnson menanggalkan citra khasnya: tanpa tawa, tanpa keangkuhan, tanpa keperkasaan abadi. Ia menjelma menjadi sosok Mark Kerr yang terluka — baik secara fisik maupun emosional.
Johnson menampilkan performa yang luar biasa lembut dan intens. Ia tak lagi menjadi figur yang menginspirasi, tapi manusia yang menanggung beban. Dalam salah satu adegan paling kuat, Kerr menatap dirinya di cermin, tubuhnya lebam, matanya sayu, lalu berbisik lirih:
“Semua orang mengira aku kuat. Tapi setiap hari aku hanya berusaha tidak runtuh.”
Adegan itu menjadi metafora besar film ini: bahwa kekuatan sejati mungkin justru lahir dari pengakuan akan kelemahan.
Banyak kritikus sepakat, peran ini adalah langkah monumental bagi Johnson. RogerEbert.com menulis:
“Dwayne Johnson akhirnya memainkan peran yang menuntut lebih dari sekadar otot. Ia menunjukkan kedalaman, luka, dan ketulusan. Ia membuktikan bahwa kejujuran emosional jauh lebih menakjubkan dari aksi heroik.”
Sebagai Dawn Staples, Emily Blunt hadir bukan sekadar sebagai kekasih sang petarung, melainkan saksi dari kehancurannya. Blunt memberi dimensi emosional yang menyeimbangkan film — hangat, sabar, namun juga penuh frustrasi.
Hubungan Mark dan Dawn menjadi pusat emosional film ini. Ada cinta yang nyata, tapi juga luka yang tak terobati. Dalam sebuah dialog sederhana namun menyentuh, Dawn berkata:
“Aku mencintaimu, Mark. Tapi aku tak tahu siapa yang kau lawan setiap hari — mereka, atau dirimu sendiri.”
Kutipan ini menandai inti film: pertarungan yang paling berat bukan melawan lawan di ring, melainkan melawan sisi diri yang ingin menyerah.
Sang sutradara Safdie, yang dikenal lewat Uncut Gems (2019), kembali menampilkan gaya sinema yang mentah dan mencekam. Kamera handheld-nya menempel pada karakter, membuat setiap napas, setiap keringat, terasa dekat dan nyata.
Ia tidak meromantisasi dunia olahraga — tidak ada sorak kemenangan, tidak ada montase motivasi. Yang ada hanyalah kesunyian setelah pertarungan, luka yang tak pernah sembuh, dan tatapan kosong seorang juara yang kehilangan arah.
Dalam wawancaranya dengan Variety, Safdie mengatakan:
“Saya ingin membuat film tentang kekuatan yang runtuh. Tentang apa yang terjadi ketika seseorang yang dianggap tak terkalahkan akhirnya menyadari bahwa ia hanya manusia.”
Pendekatan inilah yang membuat The Smashing Machine terasa seperti dokumenter kehidupan, bukan sekadar film biografi.
Film ini tayang perdana di Venice Film Festival 2025 dan mendapat sambutan hangat dari para kritikus internasional. Meski bukan film yang “mudah dinikmati”, banyak pihak menyebutnya sebagai salah satu karya paling emosional tahun ini. Namun, sebagian penonton arus utama merasa film ini terlalu lambat dan kelam.
Secara komersial, The Smashing Machine membuka pekan pertamanya dengan pendapatan sekitar US$ 5,9 juta — angka kecil untuk film yang dibintangi Dwayne Johnson, namun sesuai dengan positioning-nya sebagai drama psikologis bergaya arthouse.
Baca juga : Review Film The Strangers: Chapter 2; Teror Tanpa Kompromi
Pada akhirnya The Smashing Machine adalah refleksi atas harga yang harus dibayar manusia untuk menjadi “kuat”. Film ini menelanjangi obsesi terhadap kesempurnaan fisik dan pencapaian dalam dunia yang jarang memberi ruang bagi kelemahan.
Mark Kerr menjadi simbol dari banyak atlet — bahkan banyak orang modern — yang hidup di bawah tuntutan untuk terus menang, tanpa sempat berdamai dengan dirinya sendiri.
Dalam satu adegan, Kerr berkata:
“Mereka ingin aku menghancurkan lawan. Tapi yang paling sering hancur… adalah aku.”
Kutipan itu menyimpulkan pesan film dengan tepat: kemenangan yang sejati tidak selalu ada di podium, melainkan dalam keberanian untuk tetap jujur terhadap diri sendiri.
Transformasi akting Dwayne Johnson yang menakjubkan dan autentik menjadi keunggulan film berdurasi 2 jam 18 menit ini. Sinematografi realis khas Benny Safdie yang intens dan penuh emosi ditambah dengan narasi yang berani, jujur, dan menyentuh sisi manusia atlet, membuat film ini bisa menjadi pilihan.
Sayangnya, tempo film ini memang lambat. Bisa terasa berat bagi penonton umum. Karakter pendukung (terutama Dawn) kurang dieksplorasi secara mendalam. Minimnya elemen hiburan atau pelepasan emosional di akhir film.
The Smashing Machine bukan film untuk mencari hiburan — tapi untuk merasakan. Ia menampilkan kehidupan seorang petarung yang tak hanya berhadapan dengan lawan, tapi juga dengan dirinya sendiri.
Dwayne Johnson tampil luar biasa, membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar bintang aksi: ia adalah aktor sejati yang mampu membawa kita masuk ke luka terdalam manusia.
Dengan penyutradaraan tajam Benny Safdie dan naskah yang emosional, The Smashing Machine layak disebut sebagai salah satu film drama paling kuat tahun 2025. Sebuah kisah yang mengingatkan bahwa bahkan yang paling kuat pun bisa rapuh — dan dalam kerentanan itu, justru ada kemanusiaan yang sejati. Rating 7/10. (Lukman Hqeem)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan