Sengketa Merek BYD Denza, Pakar Hukum Merek: Waspada Praktik Trademark Squating

Pakar Hukum Merek, Dr. Arimansyah
Pakar Hukum Merek, Dr. Arimansyah (Foto/Istimewa)

Beritakota.id, Jakarta – Produsen mobil listrik asal China, PT BYD Motor Indonesia secara resmi telah meluncurkan mobil listrik multi-purpose vechicle (MPV) premium yaitu DENZA D9 pada tanggal 22 Januari 2025 di Ritz Carlton, Pasific, Jakarta.

Namun siapa sangka ternyata pelaku usaha lokal, PT. WORCAS NUSANTARA ABADI telah lebih dahulu mendaftarkan Merek DENZA untuk jenis barang-barang yang berkaitan dengan kendaraan (vehicles) di Indonesia.

banner 336x280

Berdasarkan informasi pada Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kemenkum, PT. WORCAS NUSANTARA ABADI telah mendaftarkan Merek DENZA pada tanggal 3 Juli 2023 untuk jenis barang-barang yang berkaitan dengan kendaraan (vehicles) di Indonesia dan telah terdaftar dengan Nomor Registrasi IDM001176306. Sementara itu, BYD COMPANY LIMITED yang merupakan induk dari PT BYD Motor Indonesia selaku produsen BYD DENZA D9 baru mendaftarkan merek DENZA di Indonesia pada tanggal 29 Mei 2024.

Pakar Hukum Merek, Dr. Arimansyah menyoroti kasus sengketa Merek BYD DENZA tersebut. Dr. Arimansyah mengatakan, bahwa terlepas adanya asas first to file dan asas teritorial dalam pelindungan hukum merek di Indonesia yang berarti merek dilindungi berdasarkan siapa yang mendaftarnya pertama kali dan juga keharusan mendaftarkan suatu merek di setiap negara dimana merek tersebut akan digunakan, namun pemeriksa merek di DJKI Kemenkum juga harus berhati-hati dalam melakukan screening motif bad faith yang arahnya pada praktik Trademark Squating sebelum memutus daftar suatu permohonan pendaftaran merek.

Baca Juga: Sengketa Merek Tissu Mice, PT Azkia Diva Nusantara Ajukan Kasasi

Dr. Arimansyah menambahkan, Trademark Squating atau lebih dikenal dengan “Dagang Merek” dapat diartikan sebagai niat buruk pemilik merek yang mereknya berasal dari merek-merek asing yang belum diajukan pendaftarannya di Indonesia. Merek-merek asing seperti itu didaftarkan di Indonesia semata-mata hanya untuk dijual kepada pemilik sesungguhnya pada saat yang tepat.

“Sederhana saja logikanya, seiring dengan perkembangan perdagangan global, merek asing itu akan masuk ke Indonesia. Pada saat itulah pemilik merek sesungguhnya akan merasa perlu mendaftarkan mereknya untuk mengamankan pemasaran dan memenuhi legalitas untuk memperdagangkan produknya di Indonesia. Sudah tentu permohonan pendaftaran merek tersebut akan ditolak karena mereknya tersebut telah didaftar terlebih dahulu oleh pengusaha Indonesia atau trademark squater tadi. Pada titik itulah akan muncul fasilitator atau broker yang biasanya muncul dari kalangan pengacara atau konsultan kekayaan intelektual yang menghubungkan transaksi jual beli merek tersebut” ujar Dr. Arimansyah dalam keterangannya.

Pakar Hukum Merek, Dr. Arimansyah memberikan saran untuk menghindari adanya praktik Trademark Squating tersebut maka pemeriksa merek di DJKI Kemenkum harus meneliti setiap permohonan pendaftaran merek apakah sudah didaftar jauh-jauh hari sebelumnya oleh pihak lain di luar indonesia untuk kelas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis, apakah produk dari merek yang telah didaftar oleh pihak lain di negara yang dimaksud tersebut telah beredar luas di pasaran dan di promosikan secara gencar dan besar-besaran, dan terakhir apabila si pemohon pendaftar merek di Indonesia adalah perseroan terbatas maka juga dapat dilakukan pengecekkan apakah benar jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan oleh merek tersebut telah sesuai dengan bidang usaha atau KBLI dari perseroan terbatas yang mendaftarkan merek yang bersangkutan.

Baca Juga: Pakar Hukum Desak Tan Kian Diperiksa soal TPPU, Berikut Sederet Kasusnya

“Kita juga harus mengingat bahwa dengan telah diratifikasinya Konvensi Paris dan Trips Agreement oleh Indonesia, maka merek-merek yang telah terdaftar di luar negeri namun belum didaftarkan di Indonesia, jika termasuk dalam kriteria merek terkenal maka merek tersebut harus tetap mendapat pelindungan” tambahnya.

Dr. Arimansyah yang juga penulis Buku yang berjudul “Hukum Pelindungan Merek Terkenal Pada Barang/Jasa Yang Tidak Digunakan (Non-Use)” tersebut juga menambahkan, ketentuan Pasal 21 ayat 3 Undang-Undang Merek menjadi dasar hukum yang kuat bagi Pemeriksa merek di DJKI untuk menolak permohonan merek yang diduga semata-mata mendaftarkan mereknya hanya untuk dijual kepada pemilik sesungguhnya.

Selain itu, pengawasan terhadap merek terdaftar yang tidak digunakan dalam perdagangan barang dan/atau jasa di pasaran (merek non-use) juga harus dilakukan secara ketat. Dalam hal ini, instrumen hukum melalui pembaharuan Undang-Undang Merek juga diperlukan untuk memberikan kewenangan penuh bagi Pemerintah untuk melakukan penghapusan merek yang secara nyata tidak digunakan dalam perdagangan dalam waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Saat ini pranata hukum yang mengakomodasi tindakan tersebut hanya dapat dilakukan melalui gugatan penghapusan merek terdaftar oleh pihak yang berkepentingan.

Terakhir Dr. Arimansyah menyampaikan, bahwa peran Pemerintah dalam pendaftaran merek bukan semata-mata dihitung dalam kuantitas seberapa banyak permohonan pendaftaran merek yang masuk, namun dampak dari kehadiran merek tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi, terbukanya lapangan pekerjaan baru dan pendapatan negara dari pajak, bea masuk, kegiatan ekspor, dan lain-lain, sehingga diperlukan adanya sistem pelindungan merek yang juga dapat dipercaya oleh pelaku usaha baik nasional maupun asing.

Praktik Trademark Squating ini tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan publik, khususnya perusahaan asing selaku pemilik merek terkenal untuk melaksanakan kegiatan usahanya di Indonesia yang berdampak pada penurunan masuknya investasi asing ke Indonesia.

Menurut Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, BYD Company Limited telah mengajukan gugatan pembatalan merek terhadap Merek DENZA Nomor Registrasi IDM001176306 yang didaftarkan oleh PT. WORCAS NUSANTARA ABADI dengan nomor perkara 1/Pdt.Sus-HKI/Merek/2025/PN Niaga Jkt.Pst., pekan ini masih dalam agenda pembuktian.

“Undang-Undang Merek memang memberikan ruang adanya instrumen koreksi melalui upaya hukum Gugatan Pembatalan Merek. Kita tunggu saja pastinya Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan secara komperhensif bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak” Ucap Dr. Arimansyah.

banner 728x90
Exit mobile version