Beritakota.id, Jakarta – Keputusan pemerintah yang tak menetapkan Abdul Muthalib Sangadji sebagai Pahlawan Nasional 2025 membuat sebagian masyarakat dari wilayah Timur Indonesia merasa kecewa dan terabaikan. Nama tokoh pergerakan asal Maluku itu sudah lama diusulkan, tapi hingga tahun ini, gelar kehormatan itu belum juga tiba.
Kabar itu memicu reaksi keras dari sejumlah kelompok masyarakat. Koalisi Organisasi Nasional dan Organisasi Timur Indonesia bahkan mengumumkan akan menggelar konsolidasi nasional di Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu, 12 November 2025.
Aksi tersebut disebut sebagai bentuk protes dan desakan agar pemerintah memberi penjelasan terbuka soal kriteria penetapan gelar pahlawan nasional.
“Ini bentuk penghinaan terhadap sejarah dan pejuang asal Timur. Pemerintah seakan menutup mata terhadap fakta perjuangan Abdul Muthalib Sangadji yang jelas-jelas memiliki kontribusi nyata dalam perjuangan kemerdekaan,” tegas Sandri Rumanama, aktivis nasional asal Maluku.
Baca juga: OC. Kaligis “Pak Harto Pantas Dijadikan Pahlawan Nasional”
Sandri menilai keputusan tersebut tidak sekadar persoalan administratif, melainkan menunjukkan sikap birokrasi pusat yang masih kurang menghargai tokoh-tokoh dari kawasan Timur Indonesia.
“Saya menilai keputusan Abdul Muthalin Sangadji gagal jadi pahlawan itu bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi mencerminkan arogansi birokrasi pusat yang masih bermental diskriminatif terhadap tokoh-tokoh perjuangan dari kawasan timur Indonesia,” tuturnya.
Ia bahkan mendesak agar Presiden mencopot Menteri Sosial dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik.
“Kami menuntut Presiden segera mencopot Menteri Sosial dan Menteri Kebudayaan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan politik,” tuturnya.
Menurutnya, Abdul Muthalib Sangadji memiliki catatan panjang dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia aktif dalam berbagai gerakan melawan kolonialisme dan berafiliasi dengan Serikat Islam, sebuah organisasi besar yang turut mendorong semangat kemerdekaan.
“Dengan menyingkirkan namanya dari daftar penerima gelar Pahlawan Nasional, pemerintah telah mengabaikan rekam jejak perjuangan yang terverifikasi sejarah,” ujarnya menambahkan.
Koalisi tersebut pun berencana menggelar aksi massa bertajuk “Duduki Istana Negara Demi Keadilan Sejarah untuk Timur”, sebagai simbol desakan agar negara lebih adil dalam menilai kontribusi para pejuang dari berbagai daerah.
Namun di sisi lain, pemerintah biasanya menegaskan bahwa penetapan gelar Pahlawan Nasional dilakukan melalui proses panjang dan berlapis, melibatkan tim ahli sejarah, akademisi, dan lembaga terkait. Proses tersebut mempertimbangkan bukti-bukti historis, rekam jejak perjuangan, serta dampak nasional dari kiprah tokoh yang diusulkan.
Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Kementerian Sosial maupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terkait penolakan ini. Publik pun menunggu klarifikasi untuk memastikan apakah keputusan tersebut murni didasarkan pada hasil kajian, atau ada aspek lain yang belum disampaikan ke publik.
“Jika pemerintah terus menutup telinga, kami siap turun ke jalan. Ini bukan sekadar soal gelar ini soal harga diri dan keadilan sejarah,” tegas Sandri menutup pernyataannya.
Meski begitu, banyak pihak berharap polemik ini bisa diselesaikan secara terbuka dan objektif. Karena penghargaan terhadap pahlawan, siapapun dan dari mana pun asalnya, seharusnya menjadi ruang pemersatu, bukan sumber kekecewaan baru bagi daerah-daerah yang merasa dilupakan sejarah.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan