Beritakota.id, Jakarta – Kementerian Sosial (Kemensos) telah menyerahkan berkas usulan 40 nama tokoh untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon. Salah satu nama tokoh yang diusulkan adalah Mantan Presiden RI ke-2, HM Soeharto. Usulan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Partai Golkar diketahui mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional sedangan para pengiat Hak asasi Manusia (HAM) dan aktivis kemanusiaan menolak usulan gelar tersebut.
Menanggapi polemik usulan gelar terhadap Soeharto tersebut, Advokat senior, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., angkat bicara. Menurut Kaligis, yang pernah menjadi Pengacara Pak Harto, dirinya berpandangan, selama menjadi kuasa hukum Pak Harto, hingga Pak Harto dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa, tidak satu bukti hukum pun yang dapat mendukung narasi Majalah Time mengenai korupsi Pak Harto, dan narasi mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pak Harto.
“Bahkan ketika Pak Harto memulai masa tugasnya sebagai Presiden RI, tiga Partai Orde Baru, yaitu Golkar, PDIP, dan PPP, semuanya mendukung Repelita Pak Harto,” ujar pengacara yang mendapat julukan ‘Manusia Sejuta Perkara’. Ditambahkannya, tidak hanya di dalam negeri, dunia pun turut menghargai masa kepemimpinan Pak Harto. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya bintang-bintang penghargaan dunia yang diberikan kepada Pak Harto.
Menurut Kaligis, ada beberapa catatan dan fakta hukum yang dirinya peroleh ketika membela kasus hukum Pak Harto.
“Pertama dari berkas perkara pemeriksaan Pak Harto, dimana berdasarkan narasi laporan Majalah Time, Pak Harto melakukan tindak pidana korupsi, dan punya banyak uang di bank-bank luar negeri. Narasi Majalah Time itu adalah Hoax alias Fitnah,” tukas pengacara mantan Gubernur Papua Lukas Enembe tersebut.
Merasa dirugikan dengan pemberitaan itu, Pak Harto memberi kuasa terbuka kepada Menteri Kehakiman dan HAM, Prof. Muladi dan Jaksa Agung RI, Pak Andi Ghalib, untuk melacak ke Swiss dan Austria, dan dimanapun di luar negeri, untuk melacak apa benar ada uang Pak Harto di bank-bank luar negeri versi berita Majalah Time tersebut.
“Hasilnya, Uang Pak Harto di luar negeri itu Nihil. Bahkan dalam gugatan perdata Pak Harto melawan Majalah Time pun, tak satu sen pun bukti, yang dapat diberikan Majalah Time dalam perkara itu, bahwa Pak Harto punya uang d iluar negeri,” ujar pendiri Kantor Hukum OCK & Associates tersebut.
Dijelaskannya, Majalah Time gagal memberi bukti itu kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara perdata tersebut. Menurut co-founder Jakarta Lawyer Club tersebut, selama Pak Harto memimpin Republik ini, sudah Enam Repelita telah dilalui.
“Repelita pertama dimulai 1 April 1969-1974 adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar dasar bagi pembangunan dalam tahap tahap berikutnya. Target yang hendak dicapai Repelita pertama adalah sandang pangan, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani,” ujar Kaligis yang kerap menangani perkara-perkara dari perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.
Ditambahkannya, pada Repelita kedua (1974-1979) adalah untuk meningkatkan pembangunan di pulau pulau selain Jawa Bali dan Madura. Salah satu caranya adalah melakukan transmigrasi. Pada Pelita kedua berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata rata penduduk 7% per tahun.
Sedangkan pada Pelita ketiga (1979-1984 ) menekankan kepada Trilogi Pembangunan bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang.
Baca juga : OC Kaligis Minta Hakim Kabulkan Putusan Praperadilan
“Pedoman Pembangunan Nasional adalah Trilogi Pembangunan dan delapan Jalur Pemerataan. Isi Trilogi Pembangunan, adalah, Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dan Pemerataan Pembangunan dan hasil hasilnya,” ujar pengacara mantan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo tersebut. Sedangkan pada Pelita keempat (1984-1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
“Di saat Pak Harto masih sehat, dalam wawancaranya dihadapan Pewawancara Kejaksaan Tinggi dikantor Kejati DKI, sebelum menderita penyakit kerusakan jaringan otak beliau, semua rencana lima tahun (Repelita) tersebut, dibicarakan dengan para menteri terkait, sehingga benar benar Rencana Lima tahun itu terstruktur dan terarah, dibuat demi kesejahteraan rakyat, dan diterima disetiap pertanggung jawab Presiden di pidato kenegaraannya menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus,” tukas dosen Universitas Katolik De La Salle tersebut.
Dijelaskannya, prosedur untuk Pelita IV, V dan VI, juga dilakukan Pak Harto setelah bertukar pikiran dengan para menterinya.
“Bahkan di saat Pak Harto disangka menyalahgunakan uang-uang Yayasan yang dibentuknya, tuduhan itu tak berdasarkan, karena umum dan Penegak Hukum mengetahui keberadaan Yayasan. Bahkan eksistensi Yayasan, dibenarkan oleh DPR RI,” ujar penulis buku ‘Kasus Lukas Enembe : Murni Hukum Atau Politik’ tersebut.
Dijelaskannya, Yayasan-Yayasan itu telah berhasil di dunia pendidikan, dengan memberi beasiswa, menyumbang kurang lebih seribu mesjid, mendirikan rumah-rumah sakit antara lain RS. Jantung Harapan Kita, RS. Kanker Indonesia, RS. Cacat Veteran, dan banyak aksi-aksi sscial lainnya.
“Selain Pak Harto, saya juga pernah membela Tommy Soeharto di Pengadilan Channel Island di Guernsey. Dimana Tommy dituduh memakai uang hasil korupsi kasus Goro di Pengadilan Jakarta Selatan, yang ada hubungannya, dengan kasus pembelian Lamborgini. Lamborgini kemudian dijual oleh Tommy Soeharto dan uang hasil penjualannya, disimpan di Bank Paribas. Tuduhan bahwa pembelian Lamborgini memakai uang hasil korupsi, sama sekali tidak terbukti,” tukas Kaligis.
Dijelaskannya, di saat uang itu ditabung di Bank Paribas, due diligence atau Proses Pengkajian, telah dilakukan oleh petugas Bank. Dan ternyata uang Lamborgini itu uang bersih, bukan uang haram.
“Mengenai tuduhan pelanggaran Hak Azasi Manusia oleh Pak Harto. Kompas menyebut antara lain pelanggaran HAM Penembakan Misterius (1982-1985), Kasus Talangsari (1980), Kerusuhan Mei (1988), Trisakti, Pembantaian Dukun Santet (1998). Menjadi pertanyaan, siapa yang harus mulai penyidikan, mengumpulkan pelaku utama, pelaku serta, korban dan lain sebagainya. Yang pasti hak itu adalah urusan penyidik HAM, bila diakui bahwa Indonesia adalah negara hukum,” tukas penulis buku Praperadilan dalam Praktik, Praperadilan dalam Kenyataan, Praktik-praktik Peradilan Tata Usaha Negara (I-III), dan Terminal Hukum OC Kaligis.
Ditambahkannya, Peradilan Militer Kasus Trisakti telah dilakukan, dan bila golongan tertentu masih tidak puas, silahkan melakukan upaya hukum, sesuai hukum Indonesia.
“Pak Harto tidak pernah mengintervensi kasus kasus Pengadilan. Bahkan penegakan hukum di era reformasi, tidak berjalan mulus.
Buktinya, kasus kasus pidana, korupsi yang menimpa oknum KPK tidak pernah ke pengadilan, sekalipun perkaranya telah dinyatakan P-21.
Contohnya kasus pidana pembunuhan Novel Baswedan, kasus Korupsi Bibit-Chandra Hamzah, kasus pidana Bambang Widjojanto, Abraham Samad,” ujar Kaligis.
Ditambahkannya, di saat Peradilan Hak Azasi Manusia diundangkan, pihaknya punya kesempatan membela perkara HAM, terdakwa Abilio Soares, bekas Gubernur Timor Leste.
“Dalam putusan Peninjauan Kembali Abilio Soares, hakim membebaskan Abilio.
Jadi seandainya memang Pak Harto melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia, seharusnya Penyidik Hak Azasi Manusia telah melakukan penyelidikan/ penyidikan Pro Justitia terhadap Pak Harto.
Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Pak Harto adalah narasi politik, tanpa bukti dimulainya penyidikan Pro Justitia,” ujar pengacara yang sudah berkarir di dunia hukum sejak tahun 1966 tersebut.
Dijelaskannya, dua kali, dirinya ke Organisasi HAM Dunia. Satu kali ke Strasbourg, Mahkamah HAM Uni Eropa untuk kasus pilot Garuda, saudara Moh.Said, dan lain kalinya ke Organisasi HAM Jenewa, pusat kegiatan komite Hak Azasi Manusia PBB, untuk masalah sakitnya Pak Harto.
“Di kedua tempat itu sama sekali tidak terdengar narasi pelanggaran HAM yang dilakukan Pak Harto,” tegas Kaligis.
Ditambahkannya, di dunia internasional, pihaknya mencatat kurang lebih 45 bintang penghargaan/bintang jasa yang diberikan kepada Pak Harto, bukti bahwa dunia internasional menghargai kepemimpinannya.
“Kini Pak Harto telah berpulang ke pangkuan Ilahi. Sebagai bangsa Indonesia yang beradab, tidak pantas memfitnah Pak Harto terus menerus. Atas dasar uraian saya di atas, saya berkesimpulan, sudah sangat tepat Pak Harto diberi gelar Pahlawan Nasional,” tukas Kaligis yang banyak menangani kasus-kasus internasional seperti Kasus Australian Dairy Corporation, Muhammad Said di Belanda, Kebun Bunga di Melbourne, Garnett Investment di Guernsey Swiss, Sonora Foundation di Liechtenstein, dan
Hendra Rahardja di Sydney.(Lukman Hqeem)

 
											
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan