Beritakota.id, Jakarta – Anggota DPR RI Komisi VII, Mulyanto mengatakan bahwa kebijakan soal PLTS Atap hingga saat ini masih kental tarik ulur sehingga kebijakan ini belum diundangkan oleh pemerintah sekalipun sudah selesai diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Mulyanto, implementasi kebijakan PLTS Atap ini menjadi buah simalakama. Sebab ketika masyarakat atau institusi nanti masif memasang PLTS Atap, maka PT PLN (Persero) sebagai BUMN ketenagalistrikan diharuskan menyerap listrik yang dihasilkan lantaran PLN menggunakan sistem take or pay. Padahal di saat yang sama PLN sedang mengalami surplus listrik.
Baca juga: Revisi Permen PLTS Atap Dorong Masyarakat Keluar dari Jaringan PLN
“Di satu sisi ini mendorong masyarakat untuk memasang itu (PLTS Atap) untuk peningkatan EBT (energi baru terbarukan) tapi di sisi lain PLN dalam kondisi surplus kalau harus membelinya makin surplus lagi, ini akan mengganggu keuangan PLN,” ujar Mulyanto kepada redaksi Beritakota.id, di Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Untuk itu, Mulyanto menawarkan jalan tengah agar target bauran energi pemerintah sebesar 23 persen dari EBT pada tahun 2025 tercapai, kemudian di sisi lain keuangan PLN tidak terganggu dan angka surplus listrik tidak membesar maka listrik yang masuk dalam jaringan PLN dari PLTS Atap ini harus dibatasi.
“Solusinya adalah kita harus bertahap selain PLTS Atap kita gencarkan, kita juga harus membangun EBT yang lain sesuai kemampuan masyarakat,” ulasnya.
Mulyanto juga mengusulkan opsi lainnya agar PLTS Atap lebih didorong untuk dibangun di kawasan Indonesia bagian timur atau di wilayah dengan akses listrik terbatas. Hal ini diperlukan karena jika PLTS Atap banyak dibangun di kota-kota besar asas kebermanfaatan kurang optimal.
“Sekarang pembangunan PLTS di daerah timur selama ini tidak ada penolakan karena itu daerah kosong. Kalau di kota listrik sudah banyak ngapain pasang PLTS yang ujungnya PLN rugi dan pelanggan juga kurang,” tukas Mulyanto.
Respon (1)