Beritakota.id, Jakarta – Kasus hukum yang menyeret nama artis Nikita Mirzani (NM) dan beberapa pihak lainnya kembali menjadi sorotan publik. Dalam konteks hukum, penahanan terhadap tersangka dalam dugaan perkara pemerasan dan tindak pidana pencucian uang ini sepatutnya ditinjau dari dua aspek utama: hukum pidana secara formil dan materiil, serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagai bagian dari prinsip proses hukum yang adil.
Robertus Rani Lopiga, dari kantor hukum Robertus dan rekan, menyatakan “Dalam sistem hukum pidana Indonesia, alat bukti menempati kedudukan yang sangat penting dan menjadi penentu utama dalam proses penyelidikan maupun penyidikan. Hal ini secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bahkan, terdapat adagium klasik dalam hukum pidana yang menyatakan In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariores yang berarti dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya.”

Oleh karena itu, ia menekankan bahwa semua alat bukti yang digunakan dalam proses hukum harus diperoleh secara sah dan tidak bertentangan dengan hukum. Apabila bukti diperoleh melalui cara-cara yang melanggar hukum atau unlawful legal evidence, seperti rekaman percakapan yang dilakukan secara diam-diam dan bukan oleh aparat penegak hukum, maka bukti tersebut dapat dianggap tidak sah. Dalam kondisi demikian, tersangka atau terdakwa bahkan dapat bebas dari segala tuntutan hukum, termasuk melalui mekanisme praperadilan.
Merujuk pada pendapat Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, salah satu prinsip utama dalam sistem pembuktian adalah bewijsvoering, yang berkaitan erat dengan prinsip exclusionary rules, yaitu doktrin hukum yang menolak bukti yang diperoleh secara tidak sah. Konsekuensinya, apabila terdapat alat bukti yang tidak sah, maka pemeriksaan terhadap perkara tersebut harus dibatalkan demi hukum.
Hal demikian ini, juga diyakini oleh Prof. Dr. H. Muhammad Said Karim, S.H., M.H., M.Si, dalam putusan yang sama, menegaskan bahwa tindakan perekaman tanpa izin dan bukan dilakukan oleh lembaga yang berwenang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi atau rights of privacy. Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28D ayat (1), pasal 28F, 28G, dan 28J, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Lebih jauh, Robert menyebutkan bahwa pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa hak asasi manusia dijamin, dilindungi, dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, serta harus sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948. DUHAM merupakan dokumen hukum internasional pertama yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara universal.
Baca juga : Menjaga Nama Baik Presiden, Tim Hukum Haidar Alwi Institut Datangi Bareskrim Mabes Polri
“Penjelasan Umum KUHAP juga menegaskan bahwa penghayatan dan pengamalan HAM, serta hak dan kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan, adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa, baik individu, lembaga negara, maupun masyarakat sipil” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menilai penting untuk memastikan bahwa hukum pidana tidak justru menjadi alat pelanggaran HAM, melainkan harus menjadi tameng perlindungan terhadapnya. Penegakan hukum yang adil, sahih, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia akan menjadi cerminan dari negara hukum yang demokratis dan beradab.