Kemendagri Tak Menampik ada Indikasi Desa Fiktif di Sultra

Jakarta : Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak menampik terkait adanya indikasi kasus desa fiktif yang ada di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Bachtiar mengatakan, sejak pertengahan bulan Oktober lalu, pihaknya telah menerjunkan tim khusus dari Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Ditjen Pemdes) untuk turun langsung ke Sultra demi mengecek tentang kebenaran dugaan kasus korupsi itu. Hasilnya, diakui ada indikasi kesana.

“Tim kami juga dari Dirjen Pemdes tanggal 15 sampai 17 (Oktober) yang lalu sempat turun juga ke Sultra. Indikasi yang disampaikan oleh pihak KPK itu ada benarnya. Kalau ga salah Polda ini sudah menetapkan 4 desa. Yang lain itu sedang dalam penelusuran lagi,” katanya saat berbincang dengan Radio Republik Indonesia, Rabu (6/11/2019).

Perlu diketahui, dugaan tindak pidana korupsi membentuk desa tidak sesuai prosedur sah berakibat pada kerugian keuangan negara atau daerah atas Dana Desa (DD) serta Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016 sampai dengan Tahun Anggaran 2018.

Lebih lanjut menurut dia, jika sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, peraturan pemerintah, peraturan menteri, bahkan sampai peraturan daerah, mestinya kasus desa fiktif tidak ada. Sebab pada dasarnya, proses pembentukan desa bukan mudah layaknya membalikkan telapak tangan.

Diapun menjelaskan tentang proses pembentukan desa baru, atau pemekaran desa. Dimana prosedur awalnya adalah usulan pemekaran desa harus dimusyawarahkan dulu dengan masyarakat setempat.

“Nah itu harus ada kesepakatan dengan masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat di desa yang bersangkutan. Itu harus ada dokumennya pasti dari hasil musyawarah, siapa yang terlibat dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Setelah ada keputusan dalam musyawarah desa, putusan itu lalu diajukan ke camat setempat, sampai bupati. Bupati kemudian mengajukan usulan tersebut ke DPRD agar dibahas dan dikaji dari berbagai aspek.

“Karena pembentukan desa baru itukan payung hukumnya dengan peraturan daerah,” tandasnya.

Tidak sampai disitu, setelah ada kata setuju dari Bupati dan DPRD, maka usulan itu lalu dibawa ke tingkat provinsi. Disana pun dilakukan proses verifikasi dan pengkajian tentang keuntungan dan kerugian dalam membentuk desa baru. Setelah disetujui di tingkat provinsi, maka sebuah desa pun bisa dibentuk atau dimekarkan.

“Mestinya kalau prosedur ini benar dilakukan, mestinya desa fiktif itu tidak terjadi. Tapi kenyataannya kan menemukan bahwa ada 30 lebih (34),” tukasnya.

Hal itu dijelaskannya menanggapi temuan 34 desa yang diduga fiktif di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam kasus yang tengah ditangani oleh Polda Sultra yang berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *