Beritakota.id, Jakarta – MMA Global Indonesia, sebuah asosiasi perdagangan pemasaran dan periklanan, mengadakan forum tahunan, MMA Impact Indonesia 2023, di Jakarta, belum lama ini.
Acara ini menghadirkan sejumlah pemimpin industri, pemasar, dan ahli dari berbagai sektor termasuk brands, agencies, media firms, publishers, telecommunications, advertising, dan marketing technology companies, forum ini berhasil menarik lebih dari 500 delegasi untuk berpartisipasi dalam diskusi-diskusi ini.
Salah satu pembahasan dalam pertemuan ini pemanfaatan data dan untuk membangun merek dalam lanskap perdagangan digital yang selalu berubah. Menurut Binu Ninan Kovoor, Head of Marketing, Hair and Skincare P&G Indonesia, ada sejumlah kiat yang bisa dijalankan untuk membangun kecintaan konsumen pada merek.
Yang pertama, tentu adalah komitmen untuk memahami dan memenuhi kebutuhan konsumen itu sendiri. Dijelaskan oleh Binu bahwa prinsip mendasar adalah “Consumer is our boss.” Oleh sebab itu, sebagai merek, kami berusaha untuk menyesuaikan diri sesuai dengan kemampuan dan tuntutan konsumen.
Binu mencontohkan bagaimana Pantene sebagai salah satu merek sampo terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan dalam meningkatkan penggunaan kondisioner di antara konsumen. Sebagaimana diketahui bahwa secara global, kondisioner memiliki nilai yang signifikan dalam konteks perlindungan terhadap kerusakan dan polusi udara.
Namun, dalam berkomunikasi dengan konsumen, mereka menyadari bahwa banyak konsumen yang kurang memahami bahwa kerusakan rambut biasa terjadi dan dikenal dengan “Rambut Capek”.
Oleh karena itu, jelas Binu, mereka kemudian melakukan riset untuk memahami pandangan konsumen terhadap kondisioner dan bagaimana perasaan konsumen setelah menggunakannya. Hasilnya, salah satu konsumen menyatakan bahwa rambutnya terasa enteng seperti “terisi kembali” (recharged).
Semua inisiatif ini didasarkan pada umpan balik dari konsumen, termasuk data kualitatif dan interaksi online. Berdasarkan hal-hal tersebut, P&G menciptakan kampanye yang memposisikan rambut rusak sebagai “Rambut Capek” dan menawarkan kondisioner berkualitas sebagai solusi. Keberhasilan kampanye ini menggambarkan bahwa P&G, sebagai merek, tidak mengubah esensi merek itu sendiri, tetapi justru merek yang menjadi fleksibel dalam memenuhi kebutuhan konsumen dengan cara yang relevan.
Kedua, membangun atraksi merek bagi konsumen. Dalam situasi saat ini, tingkat perhatian konsumen mengalami penurunan, kita sebagai brand tidak perlu khawatir. Binu menceritakan bagaimana kampanye Head & Shoulders sebagai shampo anti ketombe adalah mengedukasi masyarakat untuk mengucapkan ‘head and shoulders’ dengan benar.
Salah satu cara dilakukan dengan mendesain sebuah kampanye bersama Joe Taslim, sebagai brand ambassador untuk mengajak masyarakat bahwa tidak apa-apa menyebutkan brand dengan caranya sendiri, namun yang terpenting masyarakat tetap berfokus pada manfaat produk.
Baca juga: Tren 2023, Produk yang Ceriah akan Jadi Pilihan Konsumen Indonesia
Menurut Binu, hal yang harus dipahami adalah menyadari pentingnya fleksibilitas dan responsivitas merek terhadap konsumen dalam menjaga merek itu sendiri agar tetap relevan di pasar yang terus berubah.
Ketika sebuah merk sudah hadir, bagi sebagian produsen perlu untuk menjaga keberadaan merk tersebut di kalangan konsumen. Semakin merek tersebut hadir dan menjadi bahan perbincangan, semakin kuat eksistensinya. Sayangnya, menurut Binu adalah tidak ada standar yang pasti mengenai pergunjingan produk atau brand di kalangan konsumen.
Dalam pengalamannya, Binu menuturkan bahwa semua akan bergantung pada apakah brand tersebut sudah mapan di benak konsumen atau masih merupakan brand baru. Untuk brand baru, menciptakan identitas yang khas dan memperoleh perhatian di tengah persaingan yang sibuk menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, menjadi bahan gunjingan adalah sesuatu yang penting, terutama bagi brand-brand baru di pasar.
Sebaliknya, bagi brand yang sudah mapan, hal ini lebih utama menurut Binu adalah bagaimana menjaga agar merek atau brand tersebut bisa tetap relevan di mata konsumen. Dengan demikian, tantangannya akan berbeda untuk setiap jenis brand, dan strategi yang digunakan juga berbeda.
Dengan tidak adanya titik standar yang pasti, hal yang paling penting menurutnya adalah mengamati perilaku konsumen dan pasar serta mengikuti tren. Hal ini dapat membuat sebuah merek bisa mengikuti perkembangan dan menggunakannya untuk keuntungan merek tersebut, jelasnya.
Pada jaman digital saat ini dimana penetrasi internet sangat dalam pada kehidupan sehari-hari, Binu menilai keberadaan konten kreator dalam membuat sebuah merek tetap menjadi pergunjingan adalah sangat penting. Namun demikian perlu di garis bawahi bahwa tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengelola layanan dan kreator yang sangat spesifik dengan efektif.
Menurut Binu, sebuah merek perlu memberikan kebebasan kepada para kreator untuk menjalankan idenya, tetapi di sisi merek itu sendiri perlu ada praktik terbaik yang dijalankan. Berdasarkan pengalamannya, semakin baik sebuah pengarahan dilakukan kepada kreator konten, maka akan semakin baik hasilnya. Bukan mencoba untuk mengendalikan apa yang kreator coba lakukan, karena hal itu akan membuat hasil yang berbeda, bahkan seringkali menjadi tidak efektif.
Terkait dengan pengelolaan big data, Binu menjelaskan perlunya mencari keseimbangan antara data kuantitatif dan data kualitatif. Mungkin ada kreator dengan banyak penonton dan pengikut, tetapi kualitas kontennya mungkin kurang kreatif atau mungkin tidak autentik. Oleh karena itu, menurutnya penting bagi sebuah merek memiliki filter yang tepat.
‘’Misalnya, sebuah merek mungkin bersedia bekerja dengan kreator yang memiliki pengikut lebih sedikit, asalkan kualitas kontennya baik, karena itulah yang dianggap relevan oleh audiens.
Hal ini dapat melibatkan aspek seni dan ilmu sekaligus dalam pengelolaan merek itu sendiri,’’ pungkasnya.