Beritakota.id, Jakarta – Moderasi dalam hidup beragama dipandang sebagai jalan untuk menangkal arus intoleransi yang terus terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, mesti terus-menerus digaungkan karena dengan kondisi Indonesia yang majemuk, potensi untuk muncul kembali sangat mungkin terjadi.
Problem intoleransi akan terus ada karena ada generasi yang keras. Oleh karena itu, dibutuhkan Islam moderat yang hadir di masyarakat, kampus, sekolah, juga institusi pemerintah guna menangkal persoalan intoleransi yang terjadi selama ini.
”Banyak sekali kasus-kasus intoleransi tanpa melihat suasana masih pandemi Covid-19. Tantangan intoleransi itu tidak jauh, tetapi dekat dengan kita dan berada di dalam lingkungan kita,” kata Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga intelektual Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani dalam Diskusi Virtual Kaukus Muda Indonesia (KMI) tentang “Urgensi Penguatan Moderasi Beragama dalam Menangkal Arus Intoleransi”, Kamis kemarin (29/4/2021).
Menurutnya, membahas persoalan intoleranasi ini menjadi tantangan serius bagi seluruh elemen bangsa, termasuk kaum intelektual. Apalagi sejak masa pandemi virus corona atau Covid-29 melanda Tanah Air ini, banyak muncul tindakan intoleran.
Pandemi Covid-19, katanya, tidak menghalangi orang untuk tidak bersikap intoleransi. Bahkan, intoleransi tidak hanya tejadi di masyarakat umum, tapi juga di beberapa kampus di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
“Hampir 30 persen (mahasiswa) tertarik untuk mengikuti organsisasi paham radikal, bermaksud mengganti paham negara. Mahasiswa cenderung intoleran dan radikal,” ungkap nya.
Sejak Maret tahun lalu misalnya, ada rentetan tindakan intoleran. Seperti pada16 Maret 2020 lalu ada aliansi yang menekan Ahmadiyah, Tasik menyegel Masjid. Penyegelan pemakaman adat karukun, juga penyematan stigma buruk pada etnis Tionghoa sejak awal pandemi.
“Survei ini menjadi kenyataan. Tantangan kita ini, dekat dengan kita tidak jauh. Di lingkungan kita di kampus kita. Bisa jadi kalau kita survei di NU atau Muhammadiyah. Bisa jadi ada juga pandangan yang demikian. Kampus umum seperti UI, ITB bisa jadi lebih buruk,” demikian Ahmad Najib Burhani.
Sementara, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Moch. Eksan mengatakan, jika melihat fakta yang ada, problem intoleransi semakin menggila. Bahkan bisa dibilang intoleransi ibarat janin, radiklisme ibarat bayi, terorisme anak dewasa yang lahir dari kekerasan.
“Yang jadi korban kekerasan seringkali menjadi pelaku kekerasan. Inilah spiral kekerasan. Problem intoleransi akan terus terjadi, karena ada generasi yang keras. Maka moderasi ini harus digalakan di berbagai lapisan. Untuk mengembangkan islam yang moderat. NU jelas mengedepankan agama yang moderat,” pungkas Eksan.