Beritakota.id, Jakarta – Indonesia, sebagai negara maritim, memiliki sumber daya kelautan melimpah, namun pelindungan terhadap pekerja sektor perikanan belum seimbang. Nukila Evanty, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang & Kejahatan Terorganisir, menyoroti permasalahan serius Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam sektor tersebut.
Meskipun AS memberikan penilaian positif pada upaya Indonesia dalam mengatasi TPPO, tetapi masalahnya masih kompleks. Dalam sebuah webinar, Nukila menjelaskan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di laut sering tidak dilaporkan atau tidak ditindaklanjuti dengan baik. Para pekerja, terutama Anak Buah Kapal dan pekerja migran, menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak.
Nukila menyoroti empat prinsip HAM di laut yang harus diikuti oleh semua pihak, termasuk non-diskriminasi, kesetaraan, dan dasar hukum internasional. Kelompok rentan seperti nelayan, pelaut, ABK, dan pekerja migran rentan terhadap perdagangan orang.
Data Kementerian Kelautan & Perikanan mencatat 4000 kasus TPPO di sektor perikanan, termasuk perdagangan pekerja anak. Nukila memberikan contoh kasus lintas negara yang melibatkan perusahaan Thailand dan Indonesia serta kasus kekerasan terhadap ABK asal Indonesia di perairan Angola dan Uruguay.
Baca juga: Nukila Evanty: Perkuat Mekanisme Pengawasan Agar Salah Tangkap Tidak Terjadi Lagi
Nukila mendorong fokus pada kelompok rentan, yang terisolasi, bekerja dalam jangka waktu lama, rentan terhadap kerja paksa, dan sulit mengakses dokumen identitas. Untuk mengatasi permasalahan ini, Nukila menekankan perlunya kolaborasi antara negara pelabuhan, negara bendera kapal, dan negara pantai.
Port state (negara pelabuhan) dan Coastal state (negara pantai) memiliki peran penting dalam memonitor dan memastikan pematuhan standar HAM di kapal dan selama pelayaran. Nukila juga menyoroti kebijakan dan konvensi internasional yang sudah ada, seperti Konvensi ILO No. 188, namun mengatakan bahwa implementasinya masih belum memadai.
Nukila menyampaikan lima rekomendasi, termasuk pembuatan mekanisme pengaduan yang mudah, ratifikasi Konvensi ILO C 188, kerjasama dengan negara penempatan, mekanisme joint inspection, dan kolaborasi dengan masyarakat sipil untuk penelitian dan pencegahan kejahatan.