Nukila Evanty: Perkuat Mekanisme Pengawasan Agar Salah Tangkap Tidak Terjadi Lagi

Diskusi LBH Jakarta dengan tema 'Kasus Salah Tangkap: Celah Praktik Unfair Trial yang Masih Ditemui dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia'
Diskusi LBH Jakarta dengan tema 'Kasus Salah Tangkap: Celah Praktik Unfair Trial yang Masih Ditemui dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia'

Beritakota.id, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggelar diksusi dengan tema ”Kasus Salah Tangkap: Celah Praktik Unfair Trial ” masih ditemui dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia’ menjadi fokus.

Menurut LBH Jakarta, dari 2016 hingga 2022, mereka menangani 10 kasus dugaan salah tangkap aparat kepolisian di Jabodetabek, dan baru-baru ini, sebuah kasus di Bekasi menambah total menjadi 11.

Menurut data Kontras selama Juni 2020-Mei 2021, terdapat 80 kasus penyiksaan, perlakuan kejam, atau perlakuan tidak manusiawi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, kepolisian terlibat dalam 36 kasus. Nukila Evanty, seorang pejuang hak perempuan dan anak-anak yang menjadi salah satu pemateri dalam diskusi, menyoroti hak setiap individu atas kebebasan dan keamanan pribadi, sesuai dengan Pasal 9 UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Sipil & Politik.

Baca juga: Nukila Evanty: 5 Rekomendasi untuk Pemerintah Atasi Persoalan di Air Bangis

Nukila juga membahas kasus salah tangkap di beberapa negara Asia seperti Hongkong, Indonesia, dan Vietnam. Contohnya, di Hongkong, pemerintah menahan 47 aktivis pro-demokrasi dengan dasar hukum keamanan nasional, sementara di Indonesia, kasus dugaan penculikan dan penyiksaan menimbulkan kematian Imam Masykur.

Pentingnya regulasi dalam mencegah pelanggaran HAM dibahas oleh Nukila, dengan contoh regulasi di beberapa negara Asia seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Filipina. Di samping itu, Singapura dan Jepang disebut sebagai negara yang sangat komitmen pada ganti rugi bagi korban salah tangkap.

Nukila memberikan tiga rekomendasi untuk mencegah kasus serupa di masa depan, termasuk memperkuat mekanisme pengawasan, merevisi UU yang melanggar hak privasi, dan menjadikan penahanan pra-sidang sebagai upaya terakhir sesuai dengan Pasal 9 UU No 12/2005. Dengan demikian, Nukila menyimpulkan bahwa kasus salah tangkap merupakan pelanggaran HAM sistematis yang memerlukan pertanggungjawaban hukum.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *