Pengusaha Logistik dan Forwarder Minta Sertifikasi Halal Digratiskan

Ketua Umum DPP ALFI, Akbar Djohan
Ketua Umum DPP ALFI, Akbar Djohan

Beritakota.id, Jakarta – Para pelaku usaha logistik dan forwarder yang tergabung dalam Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI) meminta agar sertifikasi halal digratiskan. Jika berbayar apalagi dengan harga yang cukup mahal, itu sama saja dengan memberi beban biaya kepada pengusaha.

“Beban dari pengusaha logistik dan forwarder dengan situasi saat ini yang disebabkan adanya isu geopolitik dan lain-lain sudah sangat sulit. Ini ditambah lagi harus membayar sertifikasi halal dengan harga yang cukup mahal. Jelasnya, ini juga akan menambah beban pengusaha dan bukan untuk meringankan kita,” ujar Ketua Umum DPP ALFI, Akbar Djohan kepada media baru-baru ini.

Dia mengatakan pada dasarnya program ini sangat baik dan ALFI mendukung sepenuhnya dengan harapan adanya perbaikan-perbaikan untuk jasa-jasa handling terutama klaster-klaster penanganan kargo halal. Apalagi, Indonesia adalah salah satu negara terbesar populasi muslimnya di dunia.

“Tapi, pemerintah kan seharusnya bukan hanya berangkat dari program sertifikasi halalnya saja, tetapi juga harus membangun ekosistemnya terlebih dahulu. Artinya, ekosistem supply chain halal itu harus dibangun dari end to end, jangan ujug-ujug mewajibkan sertifikasi halal,” tukasnya.

Baca juga: Pengusaha Truk Indonesia Belum Siap Terapkan Sertifikasi Halal

Dia berharap sertifikasi halal ini tidak malah membebani para pengusaha yang malah memberikan tambahan biaya logistik yang tinggi. Tapi, sepatutnya pemerintah itulah yang harus bertanggung jawab menyiapkan semua infrastruktur, baik itu hard infrastruktur maupun soft infrastruktur. Soft infrastruktur itu seperti pengakuan oleh pemerintah terhadap pengusaha logistik bahwa pengusaha itu sudah memenuhi standar.

“Dan itu fungsi pemerintah seharusnya dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH. Bukan sebaliknya memberi beban biaya kepada pengusaha,” katanya.

Menurutnya, penerapan sertifikasi halal ini bisa memicu biaya logistik yang semakin tinggi. Sementara, pemerintah ingin untuk menurunkan biaya logistik yang terlalu tinggi. “Ini kan malah bertolak belakang jadinya,” ucapnya.

Akibat naiknya biaya logistik ini, menurut Akbar, masyarakat juga akan menanggungnya. Artinya, biaya kenaikan itu akan ditagihkan kepada pelanggan di masyarakat. Akibatnya harga barangnya juga akan naik dan akan menurunkan daya saingnya. “Daya saing produk-produk kita akan turun. Padahal, dimana-mana di luar negeri itu pemerintahnya semua yang siapkan sehingga usaha logistiknya maju-maju,” ujarnya.

Dia pun mengingatkan pemerintah agar penerbitan sertifikasi halal ini tidak menjadi carut marut lagi seperti halnya sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI). “Waktu itu, pemerintah dengan bangganya ingin buru-buru menerapkan SNI logistic. Tapi, ekosistem tata kelola industrinya tidak dibangun sehingga terjadilah carut marut dalam pelaksanaannya. Jadi, jangan sampai halal logistik ini juga mengulangi lagi hal-hal yang instan seperti itu. Cukup melakukan program-program instan untuk mengumpulkan dana dari penerbitan sertifikat itu,” tandasnya.

Prinsipnya, kata Akbar, ALFI selalu mendukung program pemerintah. “Tapi, pemerintah harus hadir di situ, bukan membebani pengusaha lagi. Kalau boleh, kalau memang mau dipaksakan Oktober nanti sertifikasi halal ini, pemerintah harus menggratiskan biayanya,” katanya.

Intinya, lanjut Akbar, ekosistem halal supply chain itu yang harus dibangun, bukan semata sertifikasi. Untuk sertifikasi halal makanan misalnya daging-dagingan atau ayam, menurutnya, pemerintah seharusnya sudah menyiapkan cold storagenya untuk menjaga kualitasnya. “Tapi, apa itu sudah dilakukan? Coba kita lihat ke Muara Angke, nelayan-nelayan di situ swasta semua yang bangun cold storagenya untuk menjaga kualitas ikannya. Pemerintah ada nggak yang membangun? Nggak ada. Contohnya begitu,” ungkapnya.

Jadi, lanjutnya, jangankan halal, produk yang berkualitas sesuai penanganan cargo fresh saja pemerintah tidak siapkan. Akibatnya, kualitas daripada makanan yang dianggap bisa memberikan gizi kepada generasi muda itu jauh dari harapan. “Jadi, program sertifikasi halal ini seperti dipaksakan jalan, padahal tanpa adanya kajian terlebih dahulu,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *