Beritakota.id, Badung – Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) pada 4-6 Desember 2024 lalu di Kuta, Bali, menjadi ajang pembahasan penting terkait isu kriminalisasi pegiat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Migas. Isu ini mencuat seiring maraknya pemberitaan dugaan korupsi pada pengelolaan Participating Interest (PI) 10% di Blok Migas, yang membuat pelaku BUMD waswas.
Sekretaris Jenderal ADPMET, Dr. Ir. Andang Bachtiar, M.Sc., menyampaikan keprihatinannya atas kondisi ini. “Para pegiat BUMD Migas merasa khawatir saat mengelola dana PI 10% karena adanya ancaman kasus hukum dan ketakutan terhadap kriminalisasi dengan tuduhan dugaan korupsi,” ujarnya.
Rakornas ini tidak hanya membahas isu kriminalisasi, tetapi juga menggarisbawahi beberapa poin penting terkait pengelolaan dana PI yang harus dipahami secara komprehensif oleh semua pihak.
Poin-Poin Penting dari Rakornas ADPMET
Dana PI sebesar 10% merupakan hasil dari keikutsertaan BUMD dalam bisnis migas yang memiliki risiko tinggi dan harus dipertanggungjawabkan. Dana ini bertujuan mengembangkan BUMD agar memberikan manfaat lebih besar bagi daerah penghasil migas melalui mekanisme hybrid, yaitu regulasi (G to B) dan bisnis (B to B).
Kedua, pengalihan PI 10% memiliki beberapa manfaat utama, yaitu transparansi data yang memungkinkan daerah mengakses data lifting migas untuk perencanaan anggaran yang lebih akurat. Alih Teknologi dan Pengetahuan yang memperkuat kemampuan daerah dalam mengelola industri migas. Ketiga, multiplier effect ekonomi untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui bisnis penunjang migas. Keempat, akses energi lebih mudah dengan melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan ‘in-kind’ PI 10%. Kelima, sebagai sumber pendapatan baru yang memberikan dividen dari pengelolaan PI 10% dan bisnis terkait migas.
BUMD menghadapi berbagai risiko seperti penurunan produksi, peningkatan biaya operasional, kegagalan investasi, dan kewajiban pajak yang harus dibayar di muka. BUMD tidak hanya berperan pasif, tetapi juga memiliki tanggung jawab dalam mempercepat perizinan, menyelesaikan masalah operasional migas, dan mendukung aktivitas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). BUMD memiliki unit kerja tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) untuk memastikan masyarakat sekitar mendukung operasional KKKS. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 54/2017 Pasal 106.
Dana hasil pengelolaan PI tidak dapat langsung disetor sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dividen hanya dapat disalurkan setelah disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sesuai aturan PP No. 54/2017.
Dugaan korupsi pada BUMD penerima PI seringkali muncul akibat ketidakpahaman atau penafsiran yang keliru terhadap regulasi, seperti PP No. 35/2004 (diubah menjadi PP No. 55/2009), Permen ESDM No. 37/2016, dan Kepmen ESDM No. 223/2022. ADPMET mengimbau pihak terkait untuk duduk bersama mengklarifikasi aturan sebelum melanjutkan ke proses hukum.
Dari 78 Wilayah Kerja (WK) Migas yang berproses untuk pembagian PI 10%, baru sembilan yang selesai dalam delapan tahun terakhir. Proses yang lambat ini menghambat peluang daerah untuk berpartisipasi dalam bisnis migas dan mendukung program pemerintah.
Dr. Andang Bachtiar menyatakan keprihatinannya atas lambatnya progres pembagian PI 10% dan risiko kriminalisasi yang membayangi BUMD. “Situasi ini menjadi tantangan besar bagi daerah dalam memanfaatkan sumber daya alamnya untuk mendukung program pemerintah,” tegasnya.
Sebagai penutup, ADPMET menyampaikan pernyataan resmi hasil Rakornas yang merepresentasikan aspirasi dari 88 daerah penghasil migas dan 70 BUMD Migas anggota asosiasi. “Kami berharap semua pihak dapat bekerja sama untuk mempercepat proses ini tanpa rasa khawatir akan ancaman hukum yang tidak berdasar,” tutup Andang.